Hujan Bulan Juli

Tidak, bukan. Tulisan ini tidak akan menjadi dan bukan puisi nan sarat makna seperti gubahan Sapardi Djoko Damono.

Hujan bulan Juli. Tak kusangka hari ini akan datang. Aku selalu menyiapkan diri sedari awal; bilang rindu kalau memang rindu, bilang sayang kalau memang sayang, bilang cinta kalau memang cinta. Hidup cuma sekali. Begitu pun aku pada peliharaanku—kucing-kucingku. Aku bilang kalau aku menyayangi mereka, seraya memantapkan hati kalau aku gak akan selamanya bersama mereka dan sebaliknya.

Hujan bulan Juli. Kenapa? Mengapa hujan padahal langit cerah? Kehilangan dua sahabat dalam waktu yang tak terpaut jauh membuat hatiku pilu. Pedih.


Hujan bulan Juli bagiku

Bulan Juli tidak terlalu menyambutku dengan baik. Memasuki hari kedua di bulan ini, kucingku yang paling kecil meninggalkan aku. Bonnie namanya, seekor kucing ras himalaya bermata biru. Aku memang penyuka kucing. Sependek apapun aku menghabiskan waktu bersama kucing tersebut, aku mudah sayang. Apalagi dengan Bonnie. Satu tahun lebih empat bulan bersamanya tak habis kulimpahkan rasa sayangku padanya. Meongannya yang unik kala merengek membuatnya berbeda. Polahnya yang terkadang nakal tapi lucu bikin aku maklum karena ya, memang sifatnya begitu.

Aku mengadopsinya dari tetangga yang bahkan tidak sampai tiga menit jaraknya dari rumahku. Saat kecil, perawakan Bonnie didominasi bulu putih dan tak terlalu panjang. Seiring dia bertumbuh dan berkembang, warna coklat di beberapa bagian tubuhnya mulai terlihat. Awalnya dia senang dimanja, bermain dengan rambutku, dipeluk, bahkan tidur di atas perutku tak peduli kalau wajahku tertindih badannya. Entah mengapa ketika dia besar, dia lebih senang tidur dengan dan dipeluk adikku. Mungkin karena aku sering jahil. 



Kedatangan Bonnie ke rumahku mungkin membuat kucingku yang paling besar, Kiku, agak cemburu. Jangan tanya aku apa ras kucing yang hampir genap berumur enam tahun ini karena aku juga gak terlalu paham. Bulunya yang didominasi warna hitam dan putih di bagian leher hingga perut membuat perawakannya cukup gagah. Belum lagi persis di bawah dagunya ada bagian bulunya yang berwarna hitam, menjadikannya jadi seperti punya janggut.

Kalau Kiku adalah manusia, aku bakal bilang dia tipe orang yang gak banyak omong, lebih banyak mengamati, dan gak akan terlibat perkelahian apapun. Dia cuma orang yang lebih banyak mendengar. Begitulah adanya. Dia gak suka cari gara-gara (kecuali waktu dia suka pipis sembarangan kalau kesal apa yang dia mau gak dituruti) sewaktu main ke luar. Saat kucing lain berantem perkara wilayah, Kiku bakal cuma mengamati dan melenggang pergi dari pertengkaran tersebut. Ah ya, aku mendapatkan Kiku dari tetangga yang sama yang memberikan aku Bonnie.

Walau awalnya terlihat cemburu, pada akhirnya Kiku dan Bonnie bisa akur juga, bak keponakan dan paman (mengingat selisih umur mereka terpaut lumayan jauh) yang saling bercanda satu sama lain. Sekilas mungkin mereka terlihat sedang bertengkar, padahal seringkali salah satu dari mereka juga mulai jahil.

Kiku dan Bonnie ini kompak kalau perutnya sudah keroncongan. Saat Bonnie mengeong-ngeong bawel kelaparan, Kiku cuma diam aja di depan mangkuk makannya. Kadang yang terjadi sebaliknya.

Aku kangen sekali dengan keberadaan mereka yang biasanya meramaikan suasana rumah, walau seringkali mereka cuma tidur kemudian makan aja. Sesudah itu paling main ke luar entah ke mana.

Bonnie kembali ke pelukan Tuhan karena sakit. Aku gak tahu persis apa penyakit yang dia derita (waktu itu aku gak sempat ikut ke dokter hewan). Awalnya cuma dikasih obat saja tapi gak kunjung sembuh. Setelah beberapa waktu, baru dibawa lagi ke dokter dan kemudian dikateter. Aku cuma berharap dia sembuh, tapi aku juga sudah menyiapkan diri kalau memang dia gak bisa sehat lagi seperti biasanya.

Betul saja, kondisinya berkata lain. Ia malah semakin lemas dan pergi meninggalkan aku beberapa jam kemudian.

Beberapa hari setelah Bonnie gak ada, ibuku mengadopsi kucing kecil berwarna oranye (adikku terpukul sekali karena kehilangan Bonnie, jadi kami mencoba mencari penggantinya). Tinggallah hari-hariku ditemani Kiku dan kucing baru ini, Léon. Awalnya memang agak sulit bagi Léon untuk berkenalan dengan Kiku karena badannya yang terlampau besar dibandingkan ukuran badan Léon. Pun Kiku gak ikutan galak juga kalau-kalau Léon menyeringai galak karena takut pada Kiku. 



Sebelum kepergiannya, Kiku sehat walafiat. Sorenya bahkan masih sempat main bareng Léon di halaman belakang. Keesokan harinya, persis di hari Idul Adha, ayahku berteriak dari halaman depan. Katanya, "Kiku mati."

Aku yang masih setengah sadar—saat itu masih jam setengah 6 kurang—kaget mendengar teriakan ayah, langsung lompat dari kasur dan mendapati Kiku sedang meregang nyawa, keracunan. Badannya yang awalnya segar bugar seketika langsung kurus sekali. Aku pun gak tahu sudah berapa lama dia sudah dalam posisi tersebut. Ah, kalau diingat lagi masih bikin hatiku pilu. Aku bingung banget dan saat itu cuma bisa menangis sambil berkata, "Kiku, kuat, ya. Sebentar," padahal aku gak tahu apa yang harus aku lakukan.

Aku tahu persis hari itu cukup hectic buat beberapa orang karena lagi siap-siap salat Ied. Berhubung ibuku juga cukup sibuk, beliau menyarankan aku lari ke rumah tetangga yang pernah memberikan aku Kiku. Sesampainya di sana, aku cuma bisa ngomong di hadapan ibu dan bapak tetanggaku, "Kiku keracunan," sambil menangis.

Bapak tetanggaku ini baik banget dan sigap langsung mengambil beberapa alat yang ia butuhkan, terutama gula merah. Begitu mendapati Kiku yang masih kesakitan, beliau langsung meracik gula merah tersebut dan mencoba memasukannya ke mulut Kiku menggunakan suntikan khusus. Karena gak kunjung membaik dan mengantisipasi hal terburuk terjadi, kami membawanya ke dokter.

Gak sampai 15 menit kami sudah sampai ke dokter, diantar ayahku. Pintu pagar rumah dokter yang sekaligus tempat praktiknya ini masih tertutup dan cuma ada anaknya yang bermain sepeda di garasi rumah. Tak lama, anaknya yang lain membuka pintu rumah dan bertanya, "Ada apa?" yang dibalas bapak tetanggaku, "Mama ada?" Karena mungkin bingung, anaknya cuma bilang, "Sebentar," kemudian menutup pintu. 

Sekali lagi, aku mengerti hari itu pagi yang hectic karena pasti ada persiapan yang mesti dilakukan demi menyambut Idul Adha. Tapi, aku saat itu berharap banget bisa cepat masuk biar Kiku bisa ditangani. Aku sempat mendengar juga Kiku di kandangnya melenguh saat menunggu dokternya muncul dari pintu. Gak lama, masih anaknya yang keluar dan bertanya lagi, "Kata mama ada apa?" Bapak tetanggaku jawab lagi, "Ini ada kucing keracunan." Anaknya menutup pintu lagi. Di situ aku kesal banget karena tiap detik saat itu sangat berarti. 

Setelah menunggu untuk kedua kalinya, anaknya mengabarkan lagi, "Kata mama tutup." Seketika perasaanku makin gak karuan. Akhirnya, kami memutuskan langsung pergi ke dokter terdekat lainnya.

Sesampainya di sana, bapak tetanggaku lagi mencari bel. Di situ aku mencoba membuka kandang Kiku karena aku dengar-dengar kok sudah gak bersuara. Benar saja, ketika aku buka kandangnya Kiku sudah gak bergerak. Kami pun langsung pulang.

Perpisahan paling menyakitkan adalah satu yang tak dipersiapkan, dan akan selamanya begitu. Pun ketika aku kehilangan Kiku. Sebelum dia dikuburkan, aku cuma menangis di sampingnya dan entah bagaimana, telinga dan mulutnya bergerak, seolah merespon kalimat yang aku ucapkan padanya.

Kepergian kedua kucingku sudah kuikhlaskan. Kini Bonnie dan Kiku mungkin sedang bermain bersama di taman langit, sudah gak kesakitan lagi. Semoga mereka selalu tahu kalau aku selalu menyayangi mereka, dan akan selamanya begitu. See you next time, kucingku sayang.

(´。• ◡ •。`) ♡

Post a Comment

One Chocolate Eater