Pemandangan malam Yogyakarta

Voy a apagar la luz para pensar en ti
Y así dejar volar a mi imaginación
Ahí donde todo lo puedo donde no hay imposibles
Que importa vivir de ilusiones si así soy feliz

“Sungguh. Kau ke mana saja, sih?” kalimat itu begitu saja meluncur dari mulutku sambil kusibakkan rambutnya yang ikal ke belakang telinganya. Ia lekas mengerjap menatapku, menembus gelap. Kurasa dia bingung. Matanya seolah bicara memberitahu ia sedang menerjemahkan kalimatku barusan, kemudian tersenyum. Senyum manis itu.

Wangi perempuan di hadapanku ini menyeruak menggelitik hidungku nikmat. Aku jenuh dengan keseharianku yang bau handschoen lateks dan antiseptik—tapi pertanda bagus karena berarti hidungku tak lagi anosmia. Lambat laun kusadari wangi yang jadi karakteristiknya ini tak lain bunga mawar yang diikuti sedikit aroma peony dengan secercah wangi buah. Entah bagaimana harus kudeskripsikan. Yang jelas, aku hanya ingin menciuminya.

¿Cómo te abrazaré? ¿Cuánto te besaré?
Mis más ardientes anhelos en ti realizar
Te morderé los labios, me llenaré de ti
Y por eso voy a apagar la luz
Para pensar en tí

Aku menyentuh bibirnya yang lembut nan hangat dan kudekap badan mungilnya biar cuma aku yang menyelimutinya. Dia menggeliat aman. “Baguslah,” aku tersenyum tipis. Aku tak ingin duvet ini membalut milikku.

✧・゚: *✧・゚:*    *:・゚✧*:・゚✧


Contigo aprendí
Que existen nuevas y mejores emociones
Contigo aprendí
A conocer un mundo nuevo de ilusiones

Aku bukan seorang yang terbilang beruntung dalam menjalin kasih di masa lalu. Bukan sekali dua kali juga aku berikrar kalau aku lebih baik menyendiri dulu sementara. Sudah cukup terkuras habis emosiku. Psikeku berkata lejar. 

Namun dengannya, aku tak tahu, dan jangan terjemahkan itu secara letterlijk. Kurasa semua orang pernah sampai di titik kehabisan kata-kata dan bingung hingga hanya ketidaktahuan yang tersisa. Aku tak tahu mengapa aku bisa mempercayai dirinya untuk mempercayai diriku. Aku perempuan yang sulit. Yang kutahu, ada jenis perasaan baru yang tumbuh. Di titik ini, kurasa frasa “waktu sembuhkan” nyata adanya.

Aprendí
Que la semana tiene mas de siete días
A hacer mayores mis contadas alegrías
Y a ser dichoso yo contigo lo aprendí

Kakinya yang berukuran empat angka lebih besar dariku terasa dingin. Apakah AC yang kunyalakan terlalu dingin buatnya? Ah, tapi dia tak pernah masalah dengan itu. Ke mana juga metari? Kulihat dari jauh gorden yang sedikit tersingkap. “Belum ada tanda-tanda ia bakal muncul,” batinku. Atau, lebih baik tak usah biar aku tetap seperti ini dua puluh empat tujuh.

Kuharap dia juga sama.

✧・゚: *✧・゚:*    *:・゚✧*:・゚✧

Contigo aprendí
A ver la luz del otro lado de la luna
Contigo aprendí
Que tu presencia no la cambio por ninguna

“Sheldon?” suara asing terdengar dari arah punggungku.

“Ya?” terkejut, aku menoleh. Bingung. Entah sudah berapa lama perempuan ini berdiri di belakangku hingga ia bisa menebak apa yang sedang kubaca.

Perempuan itu mengernyit memicingkan mata, menatapku lekat dari ujung rambut yang aku lupa pakaikan gel pagi ini hingga sneakers Nike hitam kesukaanku. “Serius kau baca Sheldon?” tanyanya lagi dengan nada tak percaya.

Aku mengangkat bahu, “Pertama kali.”

Ia tergesa berjalan ke sofa kosong di hadapanku, melirik kanan dan kiri seolah mencari seseorang. Perkiraanku salah karena kemudian ia bertanya, “Kau sendirian?”

Percakapan yang aneh. Sebelumnya tak pernah ada yang iseng mengajakku ngobrol di tempat umum seperti ini. Orang bilang wajahku terlalu dingin untuk diajak bicara, pun dengan teman sendiri. Terlebih, perempuan ini orang asing.

“Kau sendirian juga? Duduk saja di situ,” kalimat aneh juga yang kulontarkan. Ia menjawab pertanyaanku dengan benar-benar duduk di sofa itu. Luar biasa. Kini aku duduk dengan seorang yang entah siapa. Aku menunduk, mencari alinea mana yang barusan kutinggal. Kubiarkan dia sementara aku mencoba terlena memasuki jagat cerita.

“Beli di mana?” tanyanya tiba-tiba. “Apa yang di mana?” Aku tak lagi bisa membaca dengan khidmat. Kututup buku dan mencoba melihat lebih jelas perempuan di hadapanku ini. Rambutnya diikat dengan gaya messy bun dan ia membiarkan anak rambutnya terjatuh begitu saja. Wangi bunga segar terpancar dari badannya.

“Novel itu kan sudah jarang yang jual,” ucapnya, lantas menyesap minuman yang dibawanya. Di gelas plastiknya tertulis vanilla latte. Kutebak dia bukan penikmat kopi pahit.

“Ah, ya. Ini koleksi lama milik ayahku. Kau suka juga?” tanyaku sambil mendorong buku itu ke hadapannya. Ia menatap yang kusodorkan, “Aku suka juga. Sebetulnya aku baru dua membaca dua karyanya dan terkesima, jatuh cinta, dengan apa yang ia ceritakan. Kok bisa, ya?” 

“Kau tahu,” sambungnya, ”Aku tak tahu dengan yang lain, tapi tahu tidak kesamaan Are You Afraid of the Dark dan Windmills of the Gods? Dia bisa menceritakan banyak hal terperinci dengan sudut pandang dan insting wanita. Gila.”

Aku tak tanya siapa namanya karena aku sudah tahu dari gelas plastiknya itu. Ia bercerita bagaimana sulitnya ia mencari karya Sheldon daring maupun luring. Belum lagi ceritanya yang mencoba menjelajahi toko-toko buku bekas dengan harapan bisa membawa pulang bacaan baru. Nihil, katanya. Yang dia dapat cuma bola-bola ubi di pinggir jalan yang kulitnya tipis hingga dia bisa melahapnya dalam porsi banyak. Entah apa hubungannya.

“Kau dokter, ya?” pertanyaannya di luar apa yang sedang dia bahas. Aku terkesiap, “Kok tahu?” Seingatku aku belum memperkenalkan diri. “Jarimu. Koreksi aku, tapi setahuku jarang dokter membiarkan kukunya panjang atau sarung tangannya bakal gampang robek.”

Ingar bingar mal ini senyap seketika aku mendengarnya berbicara. Ia seolah mengajariku melihat sisi lain bulan.

Aprendí
Que puede un beso ser mas dulce y mas profundo
Que puedo irme mañana mismo de este mundo
Las cosas buenas ya contigo las viví

Si perempuan vanilla latte itu kini berbaring di sebelahku. Matanya menerawang, entah apa yang sedang ia pikirkan. Bola-bola ubi berkulit tipis? Anak kucing yang tempo hari ia tangisi karena tak bisa ia bawa pulang? Atau makramenya yang belum ia selesaikan? Pikirannya tak pernah bisa ku tebak.

Aku menatapnya lekat yang tentunya tak ia indahkan. “Sungguh cantik,” pikirku. Di nirwana nanti, benarkah aku cuma akan dipertemukan dengan para bidadari? Tak bisakah mereka engkau?

✧・゚: *✧・゚:*    *:・゚✧*:・゚✧

Y contigo aprendí
Que yo nací el día que te conocí

“Aku akan selalu ada,” tetiba dia berkata, menjawab harapan dan pertanyaanku.

(´。• •。`) ♡

Terinspirasi dari Luis Miguel - Voy a Apagar La Luz / Contigo Aprendí

With You I Learned

March 20, 2022

Pemandangan malam Yogyakarta

Voy a apagar la luz para pensar en ti
Y así dejar volar a mi imaginación
Ahí donde todo lo puedo donde no hay imposibles
Que importa vivir de ilusiones si así soy feliz

“Sungguh. Kau ke mana saja, sih?” kalimat itu begitu saja meluncur dari mulutku sambil kusibakkan rambutnya yang ikal ke belakang telinganya. Ia lekas mengerjap menatapku, menembus gelap. Kurasa dia bingung. Matanya seolah bicara memberitahu ia sedang menerjemahkan kalimatku barusan, kemudian tersenyum. Senyum manis itu.

Wangi perempuan di hadapanku ini menyeruak menggelitik hidungku nikmat. Aku jenuh dengan keseharianku yang bau handschoen lateks dan antiseptik—tapi pertanda bagus karena berarti hidungku tak lagi anosmia. Lambat laun kusadari wangi yang jadi karakteristiknya ini tak lain bunga mawar yang diikuti sedikit aroma peony dengan secercah wangi buah. Entah bagaimana harus kudeskripsikan. Yang jelas, aku hanya ingin menciuminya.

¿Cómo te abrazaré? ¿Cuánto te besaré?
Mis más ardientes anhelos en ti realizar
Te morderé los labios, me llenaré de ti
Y por eso voy a apagar la luz
Para pensar en tí

Aku menyentuh bibirnya yang lembut nan hangat dan kudekap badan mungilnya biar cuma aku yang menyelimutinya. Dia menggeliat aman. “Baguslah,” aku tersenyum tipis. Aku tak ingin duvet ini membalut milikku.

✧・゚: *✧・゚:*    *:・゚✧*:・゚✧


Contigo aprendí
Que existen nuevas y mejores emociones
Contigo aprendí
A conocer un mundo nuevo de ilusiones

Aku bukan seorang yang terbilang beruntung dalam menjalin kasih di masa lalu. Bukan sekali dua kali juga aku berikrar kalau aku lebih baik menyendiri dulu sementara. Sudah cukup terkuras habis emosiku. Psikeku berkata lejar. 

Namun dengannya, aku tak tahu, dan jangan terjemahkan itu secara letterlijk. Kurasa semua orang pernah sampai di titik kehabisan kata-kata dan bingung hingga hanya ketidaktahuan yang tersisa. Aku tak tahu mengapa aku bisa mempercayai dirinya untuk mempercayai diriku. Aku perempuan yang sulit. Yang kutahu, ada jenis perasaan baru yang tumbuh. Di titik ini, kurasa frasa “waktu sembuhkan” nyata adanya.

Aprendí
Que la semana tiene mas de siete días
A hacer mayores mis contadas alegrías
Y a ser dichoso yo contigo lo aprendí

Kakinya yang berukuran empat angka lebih besar dariku terasa dingin. Apakah AC yang kunyalakan terlalu dingin buatnya? Ah, tapi dia tak pernah masalah dengan itu. Ke mana juga metari? Kulihat dari jauh gorden yang sedikit tersingkap. “Belum ada tanda-tanda ia bakal muncul,” batinku. Atau, lebih baik tak usah biar aku tetap seperti ini dua puluh empat tujuh.

Kuharap dia juga sama.

✧・゚: *✧・゚:*    *:・゚✧*:・゚✧

Contigo aprendí
A ver la luz del otro lado de la luna
Contigo aprendí
Que tu presencia no la cambio por ninguna

“Sheldon?” suara asing terdengar dari arah punggungku.

“Ya?” terkejut, aku menoleh. Bingung. Entah sudah berapa lama perempuan ini berdiri di belakangku hingga ia bisa menebak apa yang sedang kubaca.

Perempuan itu mengernyit memicingkan mata, menatapku lekat dari ujung rambut yang aku lupa pakaikan gel pagi ini hingga sneakers Nike hitam kesukaanku. “Serius kau baca Sheldon?” tanyanya lagi dengan nada tak percaya.

Aku mengangkat bahu, “Pertama kali.”

Ia tergesa berjalan ke sofa kosong di hadapanku, melirik kanan dan kiri seolah mencari seseorang. Perkiraanku salah karena kemudian ia bertanya, “Kau sendirian?”

Percakapan yang aneh. Sebelumnya tak pernah ada yang iseng mengajakku ngobrol di tempat umum seperti ini. Orang bilang wajahku terlalu dingin untuk diajak bicara, pun dengan teman sendiri. Terlebih, perempuan ini orang asing.

“Kau sendirian juga? Duduk saja di situ,” kalimat aneh juga yang kulontarkan. Ia menjawab pertanyaanku dengan benar-benar duduk di sofa itu. Luar biasa. Kini aku duduk dengan seorang yang entah siapa. Aku menunduk, mencari alinea mana yang barusan kutinggal. Kubiarkan dia sementara aku mencoba terlena memasuki jagat cerita.

“Beli di mana?” tanyanya tiba-tiba. “Apa yang di mana?” Aku tak lagi bisa membaca dengan khidmat. Kututup buku dan mencoba melihat lebih jelas perempuan di hadapanku ini. Rambutnya diikat dengan gaya messy bun dan ia membiarkan anak rambutnya terjatuh begitu saja. Wangi bunga segar terpancar dari badannya.

“Novel itu kan sudah jarang yang jual,” ucapnya, lantas menyesap minuman yang dibawanya. Di gelas plastiknya tertulis vanilla latte. Kutebak dia bukan penikmat kopi pahit.

“Ah, ya. Ini koleksi lama milik ayahku. Kau suka juga?” tanyaku sambil mendorong buku itu ke hadapannya. Ia menatap yang kusodorkan, “Aku suka juga. Sebetulnya aku baru dua membaca dua karyanya dan terkesima, jatuh cinta, dengan apa yang ia ceritakan. Kok bisa, ya?” 

“Kau tahu,” sambungnya, ”Aku tak tahu dengan yang lain, tapi tahu tidak kesamaan Are You Afraid of the Dark dan Windmills of the Gods? Dia bisa menceritakan banyak hal terperinci dengan sudut pandang dan insting wanita. Gila.”

Aku tak tanya siapa namanya karena aku sudah tahu dari gelas plastiknya itu. Ia bercerita bagaimana sulitnya ia mencari karya Sheldon daring maupun luring. Belum lagi ceritanya yang mencoba menjelajahi toko-toko buku bekas dengan harapan bisa membawa pulang bacaan baru. Nihil, katanya. Yang dia dapat cuma bola-bola ubi di pinggir jalan yang kulitnya tipis hingga dia bisa melahapnya dalam porsi banyak. Entah apa hubungannya.

“Kau dokter, ya?” pertanyaannya di luar apa yang sedang dia bahas. Aku terkesiap, “Kok tahu?” Seingatku aku belum memperkenalkan diri. “Jarimu. Koreksi aku, tapi setahuku jarang dokter membiarkan kukunya panjang atau sarung tangannya bakal gampang robek.”

Ingar bingar mal ini senyap seketika aku mendengarnya berbicara. Ia seolah mengajariku melihat sisi lain bulan.

Aprendí
Que puede un beso ser mas dulce y mas profundo
Que puedo irme mañana mismo de este mundo
Las cosas buenas ya contigo las viví

Si perempuan vanilla latte itu kini berbaring di sebelahku. Matanya menerawang, entah apa yang sedang ia pikirkan. Bola-bola ubi berkulit tipis? Anak kucing yang tempo hari ia tangisi karena tak bisa ia bawa pulang? Atau makramenya yang belum ia selesaikan? Pikirannya tak pernah bisa ku tebak.

Aku menatapnya lekat yang tentunya tak ia indahkan. “Sungguh cantik,” pikirku. Di nirwana nanti, benarkah aku cuma akan dipertemukan dengan para bidadari? Tak bisakah mereka engkau?

✧・゚: *✧・゚:*    *:・゚✧*:・゚✧

Y contigo aprendí
Que yo nací el día que te conocí

“Aku akan selalu ada,” tetiba dia berkata, menjawab harapan dan pertanyaanku.

(´。• •。`) ♡

Terinspirasi dari Luis Miguel - Voy a Apagar La Luz / Contigo Aprendí

One Chocolate Eater