Budaya Pengenyahan

Menjadi pengguna media sosial yang cukup aktif bikin aku melek terhadap isu yang lagi gemar diangkat warganet. Walau gak semua isu aku ikuti—karena beberapa terlalu pelik dan menimbulkan adu kicau. Lebih baik jauh-jauh dari hal seperti itu, cuma bikin capek hati. Membatasi diri atau gak main medsos mungkin lebih bagus, justru—pasti ada satu dua isu yang diiringi budaya pengenyahan.

Hematku, budaya pengenyahan ini adalah salah satu cara modern untuk mengucilkan seseorang (biasanya figur publik) karena perilaku atau pendapatnya yang dianggap fatal dan kontroversial bagi khalayak. Gak jarang, budaya ini bisa dengan cepat melenyapkan karier seseorang.

Lantas, apakah budaya pengenyahan ini sesuatu yang positif atau negatif?

Aku seringnya menganggap kalau sesuatu itu relatif, tidak eksak, abu-abu, tidak bisa digeneralisir. Jadi ya, kurasa memang diperlukan ketika pelaku melakukan sesuatu yang tidak lagi bisa ditoleransi. Gerakan #MeToo yang lagi-lagi mencuat karena pelecehan seksual yang dilakukan seorang artis asal Tiongkok, misalnya (bukannya aku tak ingin menyebut nama-nama pelaku di sini. Aku cuma mau main aman). Dampak yang mengekor pun dahsyat, dia dihantam habis-habisan; ia dienyahkan dari platform medsos Tiongkok, situs aliran musik, dan kurasa nihil usahanya kalau dia mau muncul lagi ke dunia hiburan.

Walau begitu, terkadang ada mob mentality terhadap budaya ini, alias mereka dengan mental ikut-ikutan tanpa mengetahui apa duduk perkara utamanya. Namun begitu, di sisi lain mob mentality juga mungkin bisa saja turut menyukseskan pengenyahan yang seharusnya jadi ganjaran pelaku. Tetap saja, akan lebih baik kalau melakukan aksi pengenyahan ini dengan didasari dan atas kemauan sendiri, bukan karena FOMO. “Harus punya pendirian,” demikian ibuku bilang kala ia kesal mendengar kata “terserah” sebagai jawaban. Kurasa bisa diterapkan juga dalam situasi seperti ini.



Yang mau kubahas di kiriman kali ini adalah bagaimana senewennya aku karena tampaknya di tempat kita tinggal ini budaya pengenyahan tidak tereksekusi dengan terlalu baik (tentu saja kalau dilakukan jangan sampai salah sasaran. Makanya barusan aku bilang harus punya pendirian dan harus bisa lihat dari berbagai kacamata. Harus bisa jadi orang bijak dalam mengambil tindakan).

Sebutlah si penyanyi dangdut yang kemarin baru bebas dari penjara. Media malah mengglorifikasi kebebasannya setelah kasus pedofilia yang dilakukannya, entah apa maksudnya. Atau, seseorang yang kemarin tak dipenjara karena disebut-sebut ‘sopan dan berhak bahagia’, kini mulai terlihat aktif kembali di medsosnya karena mereka yang masih dalam lingkar pertemanan yang sama terlihat memberikan dukungan terhadap orang tersebut.

Pertanyaanku: bagaimana bisa kita ingin tak melihat para pelaku kesalahan ini tak muncul lagi di layar jika yang ‘membuat pelaku kembali’ masih mereka-mereka juga yang punya kekuatan atas eksposur yang hebat?

Akan baik jadinya kalau kita punya stance atau cara kita mengambil sikap terhadap orang-orang ini. Ketika mereka berbuat sesuatu, kita mesti lihat siapa korbannya dan efek apa yang ditimbulkan atas perilaku mereka; seperti yang terjadi pada aktor asal Korea Selatan kemarin yang membuat gaduh atas isu gaslighting dan aborsi terhadap pacarnya (meski pada akhirnya si aktorlah korbannya). Walau kecewa, orang-orang berbondong memberikan dukungan pada si pacar aktor karena saat itu khalayak cuma tahu kalau si pacar adalah korban. Demi menjunjung integritas, beberapa merek yang bekerja sama dengan si aktor pun (untuk sementara waktu) menghapus kiriman dengan wajah si aktor yang terpampang nyata. Tindakan seperti inilah yang menjadi hulu dari pengenyahan.

Sementara pada kasus yang ada di negara kita (terkesan hiperbolis, tapi begitu adanya), jangankan mengambil tindakan seperti yang kusebutkan di atas. Gak jarang, ada beberapa merek yang malah mengambil kesempatan ini untuk bekerja sama dengan si pelaku karena sedang ramai diperbincangkan demi meningkatkan eksposur. Sebuah strategi yang gak berpendirian, gak kritis, gak memikirkan value-nya, dan bikin aku gak habis pikir.

Untungnya, beberapa orang sudah paham betul dan bisa mengambil sikap apa yang harus dilakukan jika ada kasus seperti ini. Beberapa sudah memahami pentingnya punya sudut pandang dan mengambil sisi yang mereka rasa benar. Terkadang ada juga yang didasari alasan terlalu penat melihat kelakuan si pelaku sehingga mereka telanjur ilfeel dan dengan begitu saja tak lagi mengindahkannya. Aku pun mencoba mengambil jarak pada si pelaku dan siapa-siapa saja yang malah memberikan dukungan pada si empunya salah. Sudah saatnya kukira kita bisa mengambil sikap dan memberikan ganjaran (setidaknya dalam spektrum sosial, tapi tetap bedakan dengan perundungan, ya. Mengenyahkan tidak sama dengan merundung) yang tepat.

Penafian: Perlu diingat kiriman ini cuma berdasar opiniku saja, ya. Sangat boleh kalau teman-teman yang baca punya pendapat berbeda. Gambar juga cuma pemanis, tapi kurasa cukup cocok dengan tema yang kuangkat kali ini. Si pelaku dienyahkan, sendiri, jauh dari keramaian, dan harus memasuki pintu keberangkatan dari jagat yang semula ia tinggali.


(´。• •。`) ♡

Post a Comment

One Chocolate Eater