17 September 2023, anakku resmi jadi penduduk dunia.
Sebagai anak pertama dari keluarga yang akan punya cucu pertama, tentunya pengalaman mengandung dan melahirkan ini serba baru buatku. Meski sudah banyak membaca dan cari pengetahuan tentang hamil dan melahirkan sana-sini, kenyataannya pada praktiknya tetap saja berbeda. Belum lagi ditambah gejolak naik turunnya emosi, terutama ketika mendekati HPL.
Awal Januari tahun ini, ada saat ketika aku naik mobil tiba-tiba terasa seperti sedang mabuk perjalanan. Mual, kemudian diiringi muntah. Sebelum ini, aku tidak pernah punya sejarah mabuk perjalanan—mengingat sedari kecil aku memang terbiasa bolak-balik pulang kampung ke Cirebon atau Magelang pakai mobil. Curiga mungkin saat itu memang sudah waktu yang tepat buatku hamil, suamiku memutuskan untuk beli test pack. Benar saja. Beberapa hari kemudian, dua garis merah dari si alat pengetes hormon hCG itu perlahan muncul dengan mantap.
Perjalanan panjang kami pun dimulai. Di bulan-bulan pertama, kami memutuskan untuk kontrol di RSIA Limijati. Alhamdulillah, setiap kontrol kondisi janinku selalu bagus, kecuali saat pemeriksaan ketiga ketika dokternya bertanya, “Ibu kekurangan vitamin D, ya?” yang entah dari mana beliau menilainya ketika USG. Ajaib, batinku. Dari situ beliau pun membuatkan surat rujukan agar aku mengikuti beberapa tes untuk menilai kondisiku, terutama vitamin D ini yang jadi perhatian utama beliau. Benar saja, nilai tes vitamin D-ku kurang dari batas normal.
Bulan keempat, aku tidak mendapatkan kesempatan untuk kontrol ke dokter yang sama karena saat itu memang masih musim libur Idul Fitri. Kami pun mencoba mencari dokter alternatif lain yang sudah praktik. Sejak saat itu, kami selalu kontrol kandungan di Padjadjaran Medical Center. Seperti bulan-bulan lalu, waktu kontrolku tidak pernah memakan waktu lebih dari tiga puluh menit meski aku sudah melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang umum ditanyakan ibu yang baru pertama kali mengandung. Juga lengkap dengan bagaimana cara menangani defisiensi vitamin D-ku.
Semua terasa lancar dan mulus sampai aku melakukan pemeriksaan di bulan ketujuh yang kedua. Niatnya, kami mau perpisahan dengan dokter kandungan di sini karena kami berencana untuk bersalin di rumah sakit lain. Tapi kami cuma bisa berencana. Ketika pemeriksaan dimulai, janinku diklaim tidak sesehat dua minggu sebelumnya.
Lilitan dua kali di leher, pengapuran plasenta, dan IUGR asimetris. Apa ini?
Kala itu umur kandunganku 34 minggu. Lilitan di leher bertambah satu dari pemeriksaan dua minggu yang lalu. Perkara ini tidak terlalu aku khawatirkan karena dari yang kubaca, lilitan tidak terlalu membahayakan janin kalau lilitannya tidak kencang. Tapi pengapuran plasenta dan IUGR asimetris?
Si dokter terdengar panik ketika melihat layar kontrol yang terhubung dengan alat ultrasonografi yang ia pegang. “Bu, ini ada pengapuran plasenta. Ini tuh boleh dan normal kalau sudah mau masuk HPL. Ini juga janin ibu IUGR asimetris. Lingkar kepala dan perutnya masih setara di umur 32 minggu.”
Ingin nangis? Sangat. Tapi aku mencoba menahannya sekuat yang aku bisa soalnya malu kalau kelihatan nangis di depan dokter. Aku kalut. Mana bisa aku berpikir lurus.
“Kira-kira penyebabnya kenapa, dok, bisa begitu?” tanyaku. “Kemungkinan Hb-nya turun. Ibu coba cek darah, ya. Ini saya ada rekomendasi klinik yang bisa ambil sampel darah ke rumah. Ibu punya kontak saya? Atau bapak aja deh, simpan nomor saya. Nanti kalau udah ada hasil tesnya, hubungi saya lagi. Ini juga ada artikel terkait IUGR ya, pak, bu.” Begitu kata si dokter seraya menyebutkan nomor pribadinya kemudian mengirimkan artikel terkait IUGR itu ke WhatsApp suamiku.
Setelah selesai, kubaca betul-betul artikel tentang IUGR itu; intrauterine growth restriction. Intinya, janin tidak bertumbuh dan berkembang mengikuti umur kehamilan. Kucari artikel lain dari Google dan tak ada satu pun berita baik yang muncul dari IUGR ini. Aku makin lewah pikir.
Dua hari kemudian, aku langsung melakukan tes darah untuk mengecek kadar hemoglobin dan zat besi, sesuai yang direkomendasikan. Dua jam kemudian hasilnya keluar. Dari batas normal 10, kadar hemoglobin-ku memang turun ke 9.5. Kadar zat besi-ku lebih lucu, nilainya cuma 5 dari batas normal 20. Hasil tes itu aku teruskan ke suamiku yang kemudian ia teruskan lagi ke dokter.
“Hb kurang dari 10. Feritin juga kurang dari 20. Anjuran: transfusi 2 kantong PRC dan infus zat besi,” jawab dokter via WhatsApp lepas suamiku mengirimkan hasil tes sambil buru-buru pulang dari kantor untuk mengecek keadaanku.
“Besok kita cari dokter lain yang praktik pagi sambil minta surat rujukan, ya,” kata suamiku. Aku mengiyakan karena ya, mau bagaimana lagi? Memang itu toh yang harus kami lakukan? Beberapa minggu lagi si bayi bakal lahir dan gak mungkin kami asal-asalan menjaganya. Aku pun mencari rumah sakit yang cocok karena pasti harus rawat inap kalau harus transfusi darah.
Keesokan harinya, kami kontrol dokter kandungan lainnya untuk minta surat rujukan sambil mencari opini kedua di Klinik dr. Nur. “Halo pak, bu. Sehat? Umur kandungannya sudah berapa minggu, bu?” sapa si dokter ramah ketika kami duduk di hadapannya. Kami menjawab, menceritakan apa yang terjadi tiga hari lalu, dan menjawab beberapa pertanyaan anamnesisnya. “Oke. Kita coba cek dulu yuk, bu.”
“Oh iya bu, betul ada pengapuran, nih. Lima persen. Tapi kita lihat dulu ketubannya ya, bu,” katanya kalem—tanpa panik—sambil memainkan jarinya di atas alat ultrasonografi. “Ketuban juga bagus. Ini mah gak apa-apa, kok. Cuma memang ukuran janinnya agak kecil aja.” Mendengar penjelasannya aku agak lega sambil bilang, “Iya, dok. Kaget soalnya dibilang IUGR.”
Dokter tersebut diam sejenak kemudian menjawab, “Nggak sih, bu. Saya gak berani bilang ini IUGR. Kita lihat grafiknya, ya.” Di layar kontrol terlihat grafik garis yang memperlihatkan batas normal umum janin dan garis penilaian janinku. “Ini garis batas normal. Kalau yang ini grafik penilaian janin ibu secara keseluruhan. Normal kok, bu, cuma memang bayi ibu di atas garis normalnya aja sedikit.”
Sampai situ, perasaanku lega sangat. Namun, demi menenangkan diriku yang memang gampang panik dan melewah, kucecar si dokter dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggangguku. “Terus ini perlu transfusi darah sama suntik zat besi juga gak, dok? Terus saya harus ngapain aja?” Yang masih dengan santainya ia jawab, “Gak perlu, bu. Gak urgent. Cuma kalau ibu mau, mangga. Tapi menurut saya sih, gak usah. Paling ini saya kasih obat ya buat pengencer darah sama zat besinya.”
Selepas kontrol hari itu, hatiku dan suami langsung terasa super ringan. Seolah batu yang tadinya membebani dan menyesakkan dada hilang begitu saja. Tapi, perjalanan kami gak cuma sampai situ.
Seminggu sebelum HPL, kami datang lagi ke dokter yang sama. “Gimana, bu? Sudah terasa kontraksi?” Yang lekas kujawab, “Belum nih, dok. Cuma kadang-kadang aja.” Ia pun menjelaskan karena adanya pengapuran plasenta, akan lebih baik buat janin keluar secepatnya supaya gak terjadi yang gak diinginkan. “Palingan induksi ya, bu, kalau memang belum kontraksi. Gak perlu buru-buru. Cari tahu dulu mau lahiran di mana. Cuma memang lebih cepat lebih baik, ya.” Qadarullah, kurang dari dua belas jam kemudian setelah kontrol, kontraksi muncul di jam setengah satu dini hari.
Singkat cerita, bayiku terlahir sehat meski sakitnya induksi gak main-main. Sakitnya dijahit di bagian situ—karena ada bagian yang gak terkena anestesi—menurutku gak setara dengan kontraksi akibat induksi. Sebelum pulang, kami dirujuk untuk membawa bayi kami lima hari pasca melahirkan untuk mengecek kadar hormon tiroidnya. Drama kedua pun terjadi.
Bayiku lahir dengan keadaan langsung menangis, tidak kuning, dan berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala normal—pertanda seharusnya skor APGAR-nya baik. Aku pun bisa langsung pulang keesokan harinya setelah melahirkan. Lima hari pasca melahirkan, kami mengikuti rujukan untuk tes hormon tiroid bayiku. Hasilnya 20.7, ketika batas normal adalah di bawah 20. Aku. Lewah. Lagi. Sekadar info, kalau nilai ini tinggi, ada indikasi bayi akan terkena hipotiroid kongenital yang akan mengganggu tumbuh kembangnya.
Dokter spesialis anak yang sebelumnya sudah kukunjungi kudatangi lagi untuk penanganan lebih lanjut. Kami pun disarankan untuk melakukan pengecekan ulang dengan melakukan tes yang berbeda yang tentu saja kami lakukan. Ketika kontrol hari itu, aku ingat betul dokter tersebut memotivasiku setelah aku sedikit curcol kalau aku merasa sedih karena tingginya kadar hormon tiroid anakku. “Jangan sedih. Dengan mau ikut rujukan ngetes anakmu kayak gini, then you are a very good mom. Dirimu berarti mau cek kondisi anakmu sebagai bentuk pencegahan kalau ada apa-apa.”
Beberapa hari kemudian setelah tes kedua dilakukan, hasilnya keluar. Normal. Angin segar kembali menerpaku dan suamiku.
Kehamilan pertama ini sungguh jadi pelajaran dan pengalaman buatku dan suami. Lika-liku jalannya walau berat dan tak mulus ternyata mampu kami lewati. Di luar sana, aku yakin banyak pasangan juga yang sedang berjuang untuk buah hati mereka. Kudoakan semoga semuanya lancar tanpa hambatan hingga hari persalinan tiba.
(´。• ◡ •。`) ♡
Post a Comment