Bergelut di bidang pemasaran gak membuatku alpa dari mana aku memulai. Tak pernah terpikirkan juga kalau aku bakal menyandang gelar sarjana sastra di tahun 2018. Dari Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, pula.
Aku memang sudah terpapar bahasa Inggris dari aku kelas satu sekolah dasar. Awalnya, aku bukan anak yang unggul dalam bahasa asing ini. Apalagi dulu sebenarnya aku agak terpaksa mengikuti les bahasa Inggris. Namun, seiring berjalannya waktu, struktur gramatika, pengucapan, dan kaidah lain bahasa ini jadi masuk akal buatku tanpa alasan.
Banyaknya tugas yang mengharuskan aku membaca dan menulis dalam bahasa Inggris menjadikanku terbiasa. Entah sudah berapa karya sastra (yang modern; aku masih kesulitan membaca Shakespeare), karya ilmiah, maupun buku pelajaran yang kulahap di masa-masa kuliah. Mau gak mau, suka gak suka.
Kepiawaian menulis dalam bahasa Inggris pun tentunya jadi salah satu keterampilan yang harus kukuasai demi menggapai kelulusan. Faktanya, memang ada beberapa Program Studi Sastra Inggris lainnya yang tidak mengharuskan mahasiswanya menulis skripsi penuh dalam bahasa Inggris. Di kampusku, wajib hukumnya. Belum lagi jurusanku yang berkiblat spesifik pada APA (American Psychological Association) untuk penulisan sitasi yang harus kupelajari juga aturannya.
Belajar bahasa baru dengan memulainya dari bahasa Inggris sekaligus memahami fonetik-fonologi, sintaksis, sosiolinguistik, dan lainnya, jadi lebih mudah buatku. Let alone I was taught Arabic and Germany during middle and high school, respectively. Aku pun sedikit-sedikit belajar bahasa Prancis dan Korea secara autodidak. Semua konsep yang pernah kupelajari dalam bahasa-bahasa tersebut, lagi-lagi, jadi masuk akal begitu saja.
Setelah lulus, pekerjaan pertamaku yang masih kuselami hingga kini mengharuskanku menggunakan bahasa Inggris dalam bentuk ujaran dan tulisan. Empat tahun yang bisa kubilang sangat berfaedah hingga membawaku ke titik yang kujejaki sekarang. Mudah? Tentu saja (jemawa, ya). Enteng buatku untuk memahami apa yang atasan maupun klienku inginkan untuk kampanye pemasaran yang dibutuhkan.
Acap kali aku membuat blog—yang seringnya kuhapus lagi—dengan konten bahasa Inggris, di mana menyalurkan apa yang kurasakan mudah kuuraikan dengan terperinci. Pun dengan kebanyakan takarir yang kuunggah di Instagram-ku. Tak jarang beberapa temanku berkomentar, "Nggak ngerti. Butuh Google Translate."
Mirisnya, kesulitan justru baru kurasakan ketika aku memulai menulis blog ini. Seperti yang bisa dilihat, bahasa yang kugunakan secara umum di sini adalah bahasa Indonesia. Malah terasa agak sukar bagiku untuk mencurahkan apa yang ingin kubagikan. Padahal bahasa ibuku, ya bahasa Indonesia.
Aku tumbuh di tengah keluarga yang menjadikan bahasa Indonesia bahasa pertama. Ayah dan ibuku berasal dari daerah yang berbeda. Mungkin inilah dasar tak sengaja yang menjadikanku memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu.
Minatku untuk membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia terlihat sejak aku kecil. Ayah selalu membelikanku majalah Bobo—yang notabene majalah anak paling terkenal kala itu—setiap hari Kamis. Belum lagi tugas bahasa Indonesia zaman SD yang seringnya menugaskan untuk menulis pengalaman waktu liburan (sering banget gak, sih?). Kata orang tuaku, wali kelas saat aku kelas satu memuji esai yang kutulis karena terkesan genuine (padahal ini cuma karena aku membuka paragraf dengan 'Kan begini...'). Aku juga sering dinobatkan menjadi salah satu murid dengan peminjam buku terbanyak di perpustakaan.
Hari digantikan minggu, minggu digeser bulan, bulan disambut tahun. Tiba-tiba aku sudah besar (padahal kalau bisa, aku gak mau jadi besar (⊃◜⌓◝⊂)). Masa-masa SMP dan SMA-ku juga dihabiskan dengan membaca buku novel—yang kadang beli sendiri atau pinjam punya teman. Namun, begitu medsos mulai menjamuri dunia remajaku, konten berbahasa Inggris muncul di mana-mana (dulu aku sering pakai Tumblr, Facebook, dan Twitter) dan entah bagaimana pelbagai konten ini terasa dekat dengan peristiwa yang kebanyakan muda-mudi alami saat itu. Tentu saja, demi menjadi relevan, aku jadi salah satu orang yang menulis konten dengan bahasa Inggris.

Siapa sangka ternyata kebiasaan itu (aku gak bilang ini kebiasaan buruk, ya) bikin aku kurang terbiasa menulis dalam bahasa Indonesia, kecuali untuk tugas-tugas tertentu. Ketika aku memulai blog ini, alih-alih blog-walking, aku lebih getol bolak-balik mengakses KBBI versi web untuk mencari padanan kata yang pas untuk ditulis. Dalam hati sering tebersit pertanyaan, "Kok nulis pakai bahasa sendiri aja gak yakin, ya."
Aku mengikuti Ivan Lanin di
Twitter dan
Instagram sejak lama karena memang tertarik akan aturan bahasa Indonesia yang benar. Menulis blog ini bikin aku lebih sering "main" ke lini masa beliau karena keresahanku atas bahasa yang kugunakan sehari-hari. Lalu, Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk menjawab pertanyaanku barusan.
Tiba-tiba, aku
terpicu untuk membuka situs
Narabahasa dan mendengarkan
siniarnya yang tersedia di Spotify. Episode pertamanya dibuka dengan Ivan Lanin membacakan pidato kebahasaan yang berjudul
"Pesan Tak Sampai". Semua yang beliau sampaikan relevan dengan apa yang aku rasakan. Aku semakin mengulik apa-apa saja yang belum aku ketahui di episode-episode selanjutnya. Omong-omong, aku nulis ini gak disponsori lo, ya.
Semua yang dikatakan beliau benar. Kenapa aku lebih tahu pasangan 'neither' adalah 'nor' ketimbang pasangan 'bukan' adalah 'melainkan'? Kenapa aku baru sadar kalau bahasa Indonesia juga menggunakan Oxford comma, seperti bahasa Inggris? Kenapa aku baru tahu arti 'suasana' berbeda dengan 'nuansa'? Lo, beda toh, pemakaian 'sudah' dan 'telah'? Ini jadi refleksi buatku kalau aku ternyata punya banyak PR untuk belajar bahasa sendiri.
Tentu saja, mempelajari bahasa selama empat tahun kuliah bikin aku triggered terhadap kesalahan sekecil apa pun yang muncul dalam bentuk tulisan. Balik lagi seperti pertanyaan di atas, kenapa aku lebih paham kesalahan yang ada di bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia? Kalau mengutip sedikit kalimat dari "Pesan Tak Sampai", aku seperti "lebih memperhatikan pasangan orang lain daripada pasangan sendiri."
Dulu aku sempat berpikiran kalau menulis dalam bahasa Indonesia terkesan kaku. Nyatanya gak juga, walaupun mungkin memang persona yang aku timbulkan saat nulis pakai bahasa Indonesia jadi beda dibanding kalau aku nulis pakai bahasa Inggris.
Banyak juga kosakata dalam bahasa Indonesia yang baru aku ketahui—lewah, kama, Wrisaba, repih, dan lain-lain. Aku selalu meyakini kalau mempelajari bahasa adalah pelajaran seumur hidup terlepas apa pun bahasanya; banyak banget yang belum kita ketahui. Menulis blog ini pun aku gak yakin penulisannya sudah benar, mana masih diselang-seling pakai bahasa Inggris, lagi. Tapi gak apa-apa, seenggaknya aku mencoba.
(´。• ◡ •。`) ♡
Social Media