Setelah sekian lama mangkir dari keinginan untuk kembali membaca buku, akhirnya aku berhasil menamatkan satu buku lagi. Kemudian, karena ingatanku yang akhir-akhir ini jadi makin payah, aku berniat untuk membuat satu kiriman blog untuk merangkum apa yang sudah kubaca.

Pilihanku kali ini jatuh ke bukunya Sidney Sheldon dengan judul The Best Laid Plans (Rencana Paling Sempurna).

✧・゚: *✧・゚:*    *:・゚✧*:・゚✧

Novel ini menceritakan Leslie Stewart, seorang public relations di sebuah firma di Kentucky. Kisahnya bermula ketika ia bertemu dengan Oliver Russell, seorang pengacara yang sedang mencalonkan diri sebagai gubernur, di kantornya. Mengetahui rekam jejak Leslie yang piawai dalam bidangnya, Oliver meminta bantuan Leslie untuk menarik hati masyarakat agar memilihnya saat pilkada tanpa dana kampanye sepeser pun. Meski sulit, Leslie tetap ingin membantunya pro bono.

Witing tresno jalaran soko kulino. Banyaknya waktu yang mereka habiskan bersama—berdua—untuk kampanye membawa keduanya jatuh cinta. Tanpa pikir panjang, Oliver melamar Leslie yang kemudian diterimanya. Persiapan pernikahan pun disiapkan. Semua berjalan lancar hingga Kamis malam, seminggu sebelum tanggal pernikahan, Oliver harus pergi ke Paris untuk menemui kliennya yang sedang berada dalam masalah. Kala itu, ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Leslie, namun ia tetap membiarkan Oliver pergi.

The Best Laid Plans oleh Sidney Sheldon

Hingga Rabu pagi, Leslie belum mendapat kabar apa pun dari Oliver. Tak lama, Leslie ditelepon oleh seorang jurnalis yang ingin meminta pendapatnya terhadap pernikahan Oliver Russell dan Jan Davis di Paris. Dalam geming, Leslie merencanakan balas dendam untuk menjatuhkan Oliver.

Barusan itu cuma sekelumit prolognya saja. Di samping Leslie dan Oliver, novel ini menambahkan sudut pandang dari karakter pendukung yang berperan penting dalam jalan ceritanya. Seperti buku Sheldon lainnya, novel ini tak alpa menambahkan latar belakang karakter, bumbu politik, teka-teki, dan twist yang tidak disangka. Kita juga akan dibawa untuk merasakan beberapa negara bagian di Amerika hingga wilayah konflik. Misteri yang disuguhkan buku ini kerap membuatku membalikkan halaman sampai aku menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul.

Walau buku ini membuatku deg-degan, terombang-ambing kemudian terhanyut dalam ceritanya, kejutan yang muncul mendekati akhir cerita terasa sangat cepat meski di saat yang bersamaan, sudah cukup membuat pembaca mengambil kesimpulan sendiri apa yang terjadi pada karakter-karakter yang ada.

Menurutmu, apakah rencana Leslie berhasil?

(´。• ◡ •。`) ♡

The Best Laid Plans

November 06, 2023

Setelah sekian lama mangkir dari keinginan untuk kembali membaca buku, akhirnya aku berhasil menamatkan satu buku lagi. Kemudian, karena ingatanku yang akhir-akhir ini jadi makin payah, aku berniat untuk membuat satu kiriman blog untuk merangkum apa yang sudah kubaca.

Pilihanku kali ini jatuh ke bukunya Sidney Sheldon dengan judul The Best Laid Plans (Rencana Paling Sempurna).

✧・゚: *✧・゚:*    *:・゚✧*:・゚✧

Novel ini menceritakan Leslie Stewart, seorang public relations di sebuah firma di Kentucky. Kisahnya bermula ketika ia bertemu dengan Oliver Russell, seorang pengacara yang sedang mencalonkan diri sebagai gubernur, di kantornya. Mengetahui rekam jejak Leslie yang piawai dalam bidangnya, Oliver meminta bantuan Leslie untuk menarik hati masyarakat agar memilihnya saat pilkada tanpa dana kampanye sepeser pun. Meski sulit, Leslie tetap ingin membantunya pro bono.

Witing tresno jalaran soko kulino. Banyaknya waktu yang mereka habiskan bersama—berdua—untuk kampanye membawa keduanya jatuh cinta. Tanpa pikir panjang, Oliver melamar Leslie yang kemudian diterimanya. Persiapan pernikahan pun disiapkan. Semua berjalan lancar hingga Kamis malam, seminggu sebelum tanggal pernikahan, Oliver harus pergi ke Paris untuk menemui kliennya yang sedang berada dalam masalah. Kala itu, ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Leslie, namun ia tetap membiarkan Oliver pergi.

The Best Laid Plans oleh Sidney Sheldon

Hingga Rabu pagi, Leslie belum mendapat kabar apa pun dari Oliver. Tak lama, Leslie ditelepon oleh seorang jurnalis yang ingin meminta pendapatnya terhadap pernikahan Oliver Russell dan Jan Davis di Paris. Dalam geming, Leslie merencanakan balas dendam untuk menjatuhkan Oliver.

Barusan itu cuma sekelumit prolognya saja. Di samping Leslie dan Oliver, novel ini menambahkan sudut pandang dari karakter pendukung yang berperan penting dalam jalan ceritanya. Seperti buku Sheldon lainnya, novel ini tak alpa menambahkan latar belakang karakter, bumbu politik, teka-teki, dan twist yang tidak disangka. Kita juga akan dibawa untuk merasakan beberapa negara bagian di Amerika hingga wilayah konflik. Misteri yang disuguhkan buku ini kerap membuatku membalikkan halaman sampai aku menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul.

Walau buku ini membuatku deg-degan, terombang-ambing kemudian terhanyut dalam ceritanya, kejutan yang muncul mendekati akhir cerita terasa sangat cepat meski di saat yang bersamaan, sudah cukup membuat pembaca mengambil kesimpulan sendiri apa yang terjadi pada karakter-karakter yang ada.

Menurutmu, apakah rencana Leslie berhasil?

(´。• ◡ •。`) ♡

17 September 2023, anakku resmi jadi penduduk dunia.

Sebagai anak pertama dari keluarga yang akan punya cucu pertama, tentunya pengalaman mengandung dan melahirkan ini serba baru buatku. Meski sudah banyak membaca dan cari pengetahuan tentang hamil dan melahirkan sana-sini, kenyataannya pada praktiknya tetap saja berbeda. Belum lagi ditambah gejolak naik turunnya emosi, terutama ketika mendekati HPL.

Awal Januari tahun ini, ada saat ketika aku naik mobil tiba-tiba terasa seperti sedang mabuk perjalanan. Mual, kemudian diiringi muntah. Sebelum ini, aku tidak pernah punya sejarah mabuk perjalanan—mengingat sedari kecil aku memang terbiasa bolak-balik pulang kampung ke Cirebon atau Magelang pakai mobil. Curiga mungkin saat itu memang sudah waktu yang tepat buatku hamil, suamiku memutuskan untuk beli test pack. Benar saja. Beberapa hari kemudian, dua garis merah dari si alat pengetes hormon hCG itu perlahan muncul dengan mantap.

Perjalanan panjang kami pun dimulai. Di bulan-bulan pertama, kami memutuskan untuk kontrol di RSIA Limijati. Alhamdulillah, setiap kontrol kondisi janinku selalu bagus, kecuali saat pemeriksaan ketiga ketika dokternya bertanya, “Ibu kekurangan vitamin D, ya?” yang entah dari mana beliau menilainya ketika USG. Ajaib, batinku. Dari situ beliau pun membuatkan surat rujukan agar aku mengikuti beberapa tes untuk menilai kondisiku, terutama vitamin D ini yang jadi perhatian utama beliau. Benar saja, nilai tes vitamin D-ku kurang dari batas normal.

Bulan keempat, aku tidak mendapatkan kesempatan untuk kontrol ke dokter yang sama karena saat itu memang masih musim libur Idul Fitri. Kami pun mencoba mencari dokter alternatif lain yang sudah praktik. Sejak saat itu, kami selalu kontrol kandungan di Padjadjaran Medical Center. Seperti bulan-bulan lalu, waktu kontrolku tidak pernah memakan waktu lebih dari tiga puluh menit meski aku sudah melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang umum ditanyakan ibu yang baru pertama kali mengandung. Juga lengkap dengan bagaimana cara menangani defisiensi vitamin D-ku.

Semua terasa lancar dan mulus sampai aku melakukan pemeriksaan di bulan ketujuh yang kedua. Niatnya, kami mau perpisahan dengan dokter kandungan di sini karena kami berencana untuk bersalin di rumah sakit lain. Tapi kami cuma bisa berencana. Ketika pemeriksaan dimulai, janinku diklaim tidak sesehat dua minggu sebelumnya.

Jemari anak pertamaku

Lilitan dua kali di leher, pengapuran plasenta, dan IUGR asimetris. Apa ini?

Kala itu umur kandunganku 34 minggu. Lilitan di leher bertambah satu dari pemeriksaan dua minggu yang lalu. Perkara ini tidak terlalu aku khawatirkan karena dari yang kubaca, lilitan tidak terlalu membahayakan janin kalau lilitannya tidak kencang. Tapi pengapuran plasenta dan IUGR asimetris? 

Si dokter terdengar panik ketika melihat layar kontrol yang terhubung dengan alat ultrasonografi yang ia pegang. “Bu, ini ada pengapuran plasenta. Ini tuh boleh dan normal kalau sudah mau masuk HPL. Ini juga janin ibu IUGR asimetris. Lingkar kepala dan perutnya masih setara di umur 32 minggu.”

Ingin nangis? Sangat. Tapi aku mencoba menahannya sekuat yang aku bisa soalnya malu kalau kelihatan nangis di depan dokter. Aku kalut. Mana bisa aku berpikir lurus.

“Kira-kira penyebabnya kenapa, dok, bisa begitu?” tanyaku. “Kemungkinan Hb-nya turun. Ibu coba cek darah, ya. Ini saya ada rekomendasi klinik yang bisa ambil sampel darah ke rumah. Ibu punya kontak saya? Atau bapak aja deh, simpan nomor saya. Nanti kalau udah ada hasil tesnya, hubungi saya lagi. Ini juga ada artikel terkait IUGR ya, pak, bu.” Begitu kata si dokter seraya menyebutkan nomor pribadinya kemudian mengirimkan artikel terkait IUGR itu ke WhatsApp suamiku.

Setelah selesai, kubaca betul-betul artikel tentang IUGR itu; intrauterine growth restriction. Intinya, janin tidak bertumbuh dan berkembang mengikuti umur kehamilan. Kucari artikel lain dari Google dan tak ada satu pun berita baik yang muncul dari IUGR ini. Aku makin lewah pikir.

Dua hari kemudian, aku langsung melakukan tes darah untuk mengecek kadar hemoglobin dan zat besi, sesuai yang direkomendasikan. Dua jam kemudian hasilnya keluar. Dari batas normal 10, kadar hemoglobin-ku memang turun ke 9.5. Kadar zat besi-ku lebih lucu, nilainya cuma 5 dari batas normal 20. Hasil tes itu aku teruskan ke suamiku yang kemudian ia teruskan lagi ke dokter.

“Hb kurang dari 10. Feritin juga kurang dari 20. Anjuran: transfusi 2 kantong PRC dan infus zat besi,” jawab dokter via WhatsApp lepas suamiku mengirimkan hasil tes sambil buru-buru pulang dari kantor untuk mengecek keadaanku.

“Besok kita cari dokter lain yang praktik pagi sambil minta surat rujukan, ya,” kata suamiku. Aku mengiyakan karena ya, mau bagaimana lagi? Memang itu toh yang harus kami lakukan? Beberapa minggu lagi si bayi bakal lahir dan gak mungkin kami asal-asalan menjaganya. Aku pun mencari rumah sakit yang cocok karena pasti harus rawat inap kalau harus transfusi darah.

Keesokan harinya, kami kontrol dokter kandungan lainnya untuk minta surat rujukan sambil mencari opini kedua di Klinik dr. Nur. “Halo pak, bu. Sehat? Umur kandungannya sudah berapa minggu, bu?” sapa si dokter ramah ketika kami duduk di hadapannya. Kami menjawab, menceritakan apa yang terjadi tiga hari lalu, dan menjawab beberapa pertanyaan anamnesisnya. “Oke. Kita coba cek dulu yuk, bu.”

“Oh iya bu, betul ada pengapuran, nih. Lima persen. Tapi kita lihat dulu ketubannya ya, bu,” katanya kalem—tanpa panik—sambil memainkan jarinya di atas alat ultrasonografi. “Ketuban juga bagus. Ini mah gak apa-apa, kok. Cuma memang ukuran janinnya agak kecil aja.” Mendengar penjelasannya aku agak lega sambil bilang, “Iya, dok. Kaget soalnya dibilang IUGR.”

Dokter tersebut diam sejenak kemudian menjawab, “Nggak sih, bu. Saya gak berani bilang ini IUGR. Kita lihat grafiknya, ya.” Di layar kontrol terlihat grafik garis yang memperlihatkan batas normal umum janin dan garis penilaian janinku. “Ini garis batas normal. Kalau yang ini grafik penilaian janin ibu secara keseluruhan. Normal kok, bu, cuma memang bayi ibu di atas garis normalnya aja sedikit.”

Sampai situ, perasaanku lega sangat. Namun, demi menenangkan diriku yang memang gampang panik dan melewah, kucecar si dokter dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggangguku. “Terus ini perlu transfusi darah sama suntik zat besi juga gak, dok? Terus saya harus ngapain aja?” Yang masih dengan santainya ia jawab, “Gak perlu, bu. Gak urgent. Cuma kalau ibu mau, mangga. Tapi menurut saya sih, gak usah. Paling ini saya kasih obat ya buat pengencer darah sama zat besinya.”

Selepas kontrol hari itu, hatiku dan suami langsung terasa super ringan. Seolah batu yang tadinya membebani dan menyesakkan dada hilang begitu saja. Tapi, perjalanan kami gak cuma sampai situ.

Seminggu sebelum HPL, kami datang lagi ke dokter yang sama. “Gimana, bu? Sudah terasa kontraksi?” Yang lekas kujawab, “Belum nih, dok. Cuma kadang-kadang aja.” Ia pun menjelaskan karena adanya pengapuran plasenta, akan lebih baik buat janin keluar secepatnya supaya gak terjadi yang gak diinginkan. “Palingan induksi ya, bu, kalau memang belum kontraksi. Gak perlu buru-buru. Cari tahu dulu mau lahiran di mana. Cuma memang lebih cepat lebih baik, ya.” Qadarullah, kurang dari dua belas jam kemudian setelah kontrol, kontraksi muncul di jam setengah satu dini hari.

Singkat cerita, bayiku terlahir sehat meski sakitnya induksi gak main-main. Sakitnya dijahit di bagian situ—karena ada bagian yang gak terkena anestesi—menurutku gak setara dengan kontraksi akibat induksi. Sebelum pulang, kami dirujuk untuk membawa bayi kami lima hari pasca melahirkan untuk mengecek kadar hormon tiroidnya. Drama kedua pun terjadi.

Bayiku lahir dengan keadaan langsung menangis, tidak kuning, dan berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala normal—pertanda seharusnya skor APGAR-nya baik. Aku pun bisa langsung pulang keesokan harinya setelah melahirkan. Lima hari pasca melahirkan, kami mengikuti rujukan untuk tes hormon tiroid bayiku. Hasilnya 20.7, ketika batas normal adalah di bawah 20. Aku. Lewah. Lagi. Sekadar info, kalau nilai ini tinggi, ada indikasi bayi akan terkena hipotiroid kongenital yang akan mengganggu tumbuh kembangnya.

Dokter spesialis anak yang sebelumnya sudah kukunjungi kudatangi lagi untuk penanganan lebih lanjut. Kami pun disarankan untuk melakukan pengecekan ulang dengan melakukan tes yang berbeda yang tentu saja kami lakukan. Ketika kontrol hari itu, aku ingat betul dokter tersebut memotivasiku setelah aku sedikit curcol kalau aku merasa sedih karena tingginya kadar hormon tiroid anakku. “Jangan sedih. Dengan mau ikut rujukan ngetes anakmu kayak gini, then you are a very good mom. Dirimu berarti mau cek kondisi anakmu sebagai bentuk pencegahan kalau ada apa-apa.”

Beberapa hari kemudian setelah tes kedua dilakukan, hasilnya keluar. Normal. Angin segar kembali menerpaku dan suamiku.

Kehamilan pertama ini sungguh jadi pelajaran dan pengalaman buatku dan suami. Lika-liku jalannya walau berat dan tak mulus ternyata mampu kami lewati. Di luar sana, aku yakin banyak pasangan juga yang sedang berjuang untuk buah hati mereka. Kudoakan semoga semuanya lancar tanpa hambatan hingga hari persalinan tiba.

(´。• ◡ •。`) ♡

Lika-Liku Anakku

October 24, 2023

17 September 2023, anakku resmi jadi penduduk dunia.

Sebagai anak pertama dari keluarga yang akan punya cucu pertama, tentunya pengalaman mengandung dan melahirkan ini serba baru buatku. Meski sudah banyak membaca dan cari pengetahuan tentang hamil dan melahirkan sana-sini, kenyataannya pada praktiknya tetap saja berbeda. Belum lagi ditambah gejolak naik turunnya emosi, terutama ketika mendekati HPL.

Awal Januari tahun ini, ada saat ketika aku naik mobil tiba-tiba terasa seperti sedang mabuk perjalanan. Mual, kemudian diiringi muntah. Sebelum ini, aku tidak pernah punya sejarah mabuk perjalanan—mengingat sedari kecil aku memang terbiasa bolak-balik pulang kampung ke Cirebon atau Magelang pakai mobil. Curiga mungkin saat itu memang sudah waktu yang tepat buatku hamil, suamiku memutuskan untuk beli test pack. Benar saja. Beberapa hari kemudian, dua garis merah dari si alat pengetes hormon hCG itu perlahan muncul dengan mantap.

Perjalanan panjang kami pun dimulai. Di bulan-bulan pertama, kami memutuskan untuk kontrol di RSIA Limijati. Alhamdulillah, setiap kontrol kondisi janinku selalu bagus, kecuali saat pemeriksaan ketiga ketika dokternya bertanya, “Ibu kekurangan vitamin D, ya?” yang entah dari mana beliau menilainya ketika USG. Ajaib, batinku. Dari situ beliau pun membuatkan surat rujukan agar aku mengikuti beberapa tes untuk menilai kondisiku, terutama vitamin D ini yang jadi perhatian utama beliau. Benar saja, nilai tes vitamin D-ku kurang dari batas normal.

Bulan keempat, aku tidak mendapatkan kesempatan untuk kontrol ke dokter yang sama karena saat itu memang masih musim libur Idul Fitri. Kami pun mencoba mencari dokter alternatif lain yang sudah praktik. Sejak saat itu, kami selalu kontrol kandungan di Padjadjaran Medical Center. Seperti bulan-bulan lalu, waktu kontrolku tidak pernah memakan waktu lebih dari tiga puluh menit meski aku sudah melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang umum ditanyakan ibu yang baru pertama kali mengandung. Juga lengkap dengan bagaimana cara menangani defisiensi vitamin D-ku.

Semua terasa lancar dan mulus sampai aku melakukan pemeriksaan di bulan ketujuh yang kedua. Niatnya, kami mau perpisahan dengan dokter kandungan di sini karena kami berencana untuk bersalin di rumah sakit lain. Tapi kami cuma bisa berencana. Ketika pemeriksaan dimulai, janinku diklaim tidak sesehat dua minggu sebelumnya.

Jemari anak pertamaku

Lilitan dua kali di leher, pengapuran plasenta, dan IUGR asimetris. Apa ini?

Kala itu umur kandunganku 34 minggu. Lilitan di leher bertambah satu dari pemeriksaan dua minggu yang lalu. Perkara ini tidak terlalu aku khawatirkan karena dari yang kubaca, lilitan tidak terlalu membahayakan janin kalau lilitannya tidak kencang. Tapi pengapuran plasenta dan IUGR asimetris? 

Si dokter terdengar panik ketika melihat layar kontrol yang terhubung dengan alat ultrasonografi yang ia pegang. “Bu, ini ada pengapuran plasenta. Ini tuh boleh dan normal kalau sudah mau masuk HPL. Ini juga janin ibu IUGR asimetris. Lingkar kepala dan perutnya masih setara di umur 32 minggu.”

Ingin nangis? Sangat. Tapi aku mencoba menahannya sekuat yang aku bisa soalnya malu kalau kelihatan nangis di depan dokter. Aku kalut. Mana bisa aku berpikir lurus.

“Kira-kira penyebabnya kenapa, dok, bisa begitu?” tanyaku. “Kemungkinan Hb-nya turun. Ibu coba cek darah, ya. Ini saya ada rekomendasi klinik yang bisa ambil sampel darah ke rumah. Ibu punya kontak saya? Atau bapak aja deh, simpan nomor saya. Nanti kalau udah ada hasil tesnya, hubungi saya lagi. Ini juga ada artikel terkait IUGR ya, pak, bu.” Begitu kata si dokter seraya menyebutkan nomor pribadinya kemudian mengirimkan artikel terkait IUGR itu ke WhatsApp suamiku.

Setelah selesai, kubaca betul-betul artikel tentang IUGR itu; intrauterine growth restriction. Intinya, janin tidak bertumbuh dan berkembang mengikuti umur kehamilan. Kucari artikel lain dari Google dan tak ada satu pun berita baik yang muncul dari IUGR ini. Aku makin lewah pikir.

Dua hari kemudian, aku langsung melakukan tes darah untuk mengecek kadar hemoglobin dan zat besi, sesuai yang direkomendasikan. Dua jam kemudian hasilnya keluar. Dari batas normal 10, kadar hemoglobin-ku memang turun ke 9.5. Kadar zat besi-ku lebih lucu, nilainya cuma 5 dari batas normal 20. Hasil tes itu aku teruskan ke suamiku yang kemudian ia teruskan lagi ke dokter.

“Hb kurang dari 10. Feritin juga kurang dari 20. Anjuran: transfusi 2 kantong PRC dan infus zat besi,” jawab dokter via WhatsApp lepas suamiku mengirimkan hasil tes sambil buru-buru pulang dari kantor untuk mengecek keadaanku.

“Besok kita cari dokter lain yang praktik pagi sambil minta surat rujukan, ya,” kata suamiku. Aku mengiyakan karena ya, mau bagaimana lagi? Memang itu toh yang harus kami lakukan? Beberapa minggu lagi si bayi bakal lahir dan gak mungkin kami asal-asalan menjaganya. Aku pun mencari rumah sakit yang cocok karena pasti harus rawat inap kalau harus transfusi darah.

Keesokan harinya, kami kontrol dokter kandungan lainnya untuk minta surat rujukan sambil mencari opini kedua di Klinik dr. Nur. “Halo pak, bu. Sehat? Umur kandungannya sudah berapa minggu, bu?” sapa si dokter ramah ketika kami duduk di hadapannya. Kami menjawab, menceritakan apa yang terjadi tiga hari lalu, dan menjawab beberapa pertanyaan anamnesisnya. “Oke. Kita coba cek dulu yuk, bu.”

“Oh iya bu, betul ada pengapuran, nih. Lima persen. Tapi kita lihat dulu ketubannya ya, bu,” katanya kalem—tanpa panik—sambil memainkan jarinya di atas alat ultrasonografi. “Ketuban juga bagus. Ini mah gak apa-apa, kok. Cuma memang ukuran janinnya agak kecil aja.” Mendengar penjelasannya aku agak lega sambil bilang, “Iya, dok. Kaget soalnya dibilang IUGR.”

Dokter tersebut diam sejenak kemudian menjawab, “Nggak sih, bu. Saya gak berani bilang ini IUGR. Kita lihat grafiknya, ya.” Di layar kontrol terlihat grafik garis yang memperlihatkan batas normal umum janin dan garis penilaian janinku. “Ini garis batas normal. Kalau yang ini grafik penilaian janin ibu secara keseluruhan. Normal kok, bu, cuma memang bayi ibu di atas garis normalnya aja sedikit.”

Sampai situ, perasaanku lega sangat. Namun, demi menenangkan diriku yang memang gampang panik dan melewah, kucecar si dokter dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggangguku. “Terus ini perlu transfusi darah sama suntik zat besi juga gak, dok? Terus saya harus ngapain aja?” Yang masih dengan santainya ia jawab, “Gak perlu, bu. Gak urgent. Cuma kalau ibu mau, mangga. Tapi menurut saya sih, gak usah. Paling ini saya kasih obat ya buat pengencer darah sama zat besinya.”

Selepas kontrol hari itu, hatiku dan suami langsung terasa super ringan. Seolah batu yang tadinya membebani dan menyesakkan dada hilang begitu saja. Tapi, perjalanan kami gak cuma sampai situ.

Seminggu sebelum HPL, kami datang lagi ke dokter yang sama. “Gimana, bu? Sudah terasa kontraksi?” Yang lekas kujawab, “Belum nih, dok. Cuma kadang-kadang aja.” Ia pun menjelaskan karena adanya pengapuran plasenta, akan lebih baik buat janin keluar secepatnya supaya gak terjadi yang gak diinginkan. “Palingan induksi ya, bu, kalau memang belum kontraksi. Gak perlu buru-buru. Cari tahu dulu mau lahiran di mana. Cuma memang lebih cepat lebih baik, ya.” Qadarullah, kurang dari dua belas jam kemudian setelah kontrol, kontraksi muncul di jam setengah satu dini hari.

Singkat cerita, bayiku terlahir sehat meski sakitnya induksi gak main-main. Sakitnya dijahit di bagian situ—karena ada bagian yang gak terkena anestesi—menurutku gak setara dengan kontraksi akibat induksi. Sebelum pulang, kami dirujuk untuk membawa bayi kami lima hari pasca melahirkan untuk mengecek kadar hormon tiroidnya. Drama kedua pun terjadi.

Bayiku lahir dengan keadaan langsung menangis, tidak kuning, dan berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala normal—pertanda seharusnya skor APGAR-nya baik. Aku pun bisa langsung pulang keesokan harinya setelah melahirkan. Lima hari pasca melahirkan, kami mengikuti rujukan untuk tes hormon tiroid bayiku. Hasilnya 20.7, ketika batas normal adalah di bawah 20. Aku. Lewah. Lagi. Sekadar info, kalau nilai ini tinggi, ada indikasi bayi akan terkena hipotiroid kongenital yang akan mengganggu tumbuh kembangnya.

Dokter spesialis anak yang sebelumnya sudah kukunjungi kudatangi lagi untuk penanganan lebih lanjut. Kami pun disarankan untuk melakukan pengecekan ulang dengan melakukan tes yang berbeda yang tentu saja kami lakukan. Ketika kontrol hari itu, aku ingat betul dokter tersebut memotivasiku setelah aku sedikit curcol kalau aku merasa sedih karena tingginya kadar hormon tiroid anakku. “Jangan sedih. Dengan mau ikut rujukan ngetes anakmu kayak gini, then you are a very good mom. Dirimu berarti mau cek kondisi anakmu sebagai bentuk pencegahan kalau ada apa-apa.”

Beberapa hari kemudian setelah tes kedua dilakukan, hasilnya keluar. Normal. Angin segar kembali menerpaku dan suamiku.

Kehamilan pertama ini sungguh jadi pelajaran dan pengalaman buatku dan suami. Lika-liku jalannya walau berat dan tak mulus ternyata mampu kami lewati. Di luar sana, aku yakin banyak pasangan juga yang sedang berjuang untuk buah hati mereka. Kudoakan semoga semuanya lancar tanpa hambatan hingga hari persalinan tiba.

(´。• ◡ •。`) ♡

Us, holding hands

Why would I be insecure, why would I see myself shallow,
When I am put in the pedestal

Why would I hesitate, why would I keep my dignity high,
When I already had stripped all that's on me

Why would I not fall, why would I not love,
When I heard that whisper that made me say, "I'm truly yours."

Yours truly

Truly Yours, Yours Truly

July 25, 2023

Us, holding hands

Why would I be insecure, why would I see myself shallow,
When I am put in the pedestal

Why would I hesitate, why would I keep my dignity high,
When I already had stripped all that's on me

Why would I not fall, why would I not love,
When I heard that whisper that made me say, "I'm truly yours."

Yours truly
Beberapa waktu yang lalu aku menghadiri pernikahan temanku. Apa mau dikata, umur segini memang sudah saatnya aku mendapati berita bahagia seperti lamaran, pernikahan, lahiran, hingga melihat unggahan bangganya teman-temanku yang sudah menjadi ayah atau ibu mengenai perkembangan anaknya.

Ketika mendapat kabar seperti itu—terutama pernikahan—mereka pasti lagi bahagia banget akhirnya bisa hidup berdampingan dengan orang pilihan mereka. Aku masih ingat betul rasanya, terutama ketika sedang proses mempersiapkan ini itu buat pernikahan. Gak jarang kadang aku iseng bilang ke suamiku, “Resepsi lagi, yuk,” yang jawabannya diikuti dengan gelengan kepala sambil bercanda, “Gak ah, pusing.”

Tak terasa kini aku pun hampir menjalani satu tahun pernikahan. Perasaan sudah banyak yang aku lewati, tapi tetap banyak yang masih kupelajari. Aku bahkan tadinya ‘orang itu’ yang setiap melihat orang pacaran maupun menikah berpikir, “Kok bisa ya mereka gak takut dengan komitmen?” Acap kali aku memikirkannya juga dengan rasa takut.

Belum lagi sekarang banyak konten di media sosial yang menceritakan tentang kegagalan sejoli untuk menjalin kasih, hingga konten fear mongering kalau pernikahan itu momok menyeramkan. Seperti, “Bayangkan, seumur hidup kamu bakalan bareng orang yang ke depannya bisa saja berubah sementara kamu gak bisa semerta-merta minta memutuskan hubungan karena kamu sudah mengikrarkan janji suci.” Akhirnya, gak sedikit pula yang berakhir gak percaya kalau ikatan cinta antara dua orang itu hal yang mungkin.

Aku bukan pakar hubungan. Aku menulis ini pun cuma berdasarkan pengalaman, perasaan, dan intuisiku saja. Ambil yang baik dan buang yang buruknya, ya.

Seserahan pernikahan

Kurasa, setidaknya seseorang pasti pernah berpikir kalau komitmen adalah sesuatu yang sulit dijalani. Pemikiran seperti ini bisa juga didasari juga dengan pengalaman masa lalu. Kalau seseorang pernah mengalami kesulitan di hubungan sebelumnya, bakal ada kecenderungan salah satu pihak (atau bahkan keduanya) membawa trauma tersebut di hubungan barunya. Tidak percaya dengan kegiatan yang pasangannya lakukan, misalnya. Biasanya trauma kayak gini muncul karena pasangannya di masa lalu pernah bertindak tidak setia/jujur, atau bisa juga disebabkan salah satu pihak merasa insecure mengenai dirinya sendiri. Hal ini kemudian berujung salah satu pihak cenderung memproyeksikan rasa tidak nyaman ini di hubungan barunya. 

Awalnya, kukira memproyeksikan ketakutan ke pasangan adalah sesuatu yang wajar hingga aku belajar bahwa sebenarnya itu bukanlah urusan pasangan kita. Sebelum memulai hubungan baru, akan sangat baik kalau kita ‘menyelesaikan apa-apa yang tidak beres di hubungan sebelumnya’. Aku sendiri pernah menjadi orang yang sangat memproyeksikan ketakutanku ke pasangan hingga aku menjadi pasangan yang posesif gila-gilaan dan membuat hubunganku saat itu jadi sangat gak sehat. 

Menjalin hubungan hampir empat tahun yang diakhiri dengan putus menjadi momen titik balik buatku. Aku mempelajari kesalahanku di hubungan sebelumnya yang kemudian kujanjikan pada diriku sendiri untuk gak melakukan itu di hubunganku berikutnya. Bahkan, ada saat aku benar-benar gak mau menjalin hubungan karena aku takut bakalan putus lagi dan aku cuma ingin menjalani hubungan yang berakhir serius. Waktu itu kupikir, “Sudah bukan umurku pacaran cuma sekadar buat main-main.” Saking skeptisnya tentang hubungan dan komitmen, kutanya temanku yang saat itu punya pacar dan jawabannya, “Ya, kita coba dulu aja. Kalau gak dicoba, gak akan tahu kan, ke depannya bakal gimana?”

Singkat cerita, kemudian aku merasakan the crazy butterflies in my stomach lagi ketika pertama kali aku bertemu orang yang jadi suamiku sekarang. Aku mulai memahami lagi ungkapan ‘if we never try, we’ll never know’. Sesuai janjiku, aku mencoba memperbaiki diriku di hubungan baru ini supaya hubungan kami tetap sehat. Gak sampai setahun kami kenal satu sama lain, kami berencana untuk beralih ke jenjang yang lebih serius. It sure does take effort to build a healthy relationship, menurutku.

Punya pasangan yang pikirannya lebih dewasa dan berusaha untuk mengkomunikasikan apapun adalah sesuatu yang baru buatku. Dengan adanya komunikasi seperti ini, kukira aku sudah mengetahui pasanganku luar dalam. Nyatanya, setelah menikah selalu saja ada perbedaan ketika sudah seatap.

Perbedaan seperti ini ternyata gak cuma dialami oleh aku yang fase perkenalan menuju pernikahannya tergolong cepat. Beberapa temanku yang sudah pacaran lebih dari tiga tahun berujung menikah pun merasakan hal yang sama. Hal seperti ini yang biasanya menyulut pertengkaran kecil antara suami dan istri, dan biasanya jadi konten fear mongering di media sosial seperti yang tadi aku sebutkan.

Padahal wajar menurutku kalau ada perbedaan seperti itu. Toh, tak peduli berapa lama sejoli bersama, akan jadi pengalaman baru buat mereka untuk hidup di bawah atap yang sama. Kedua pihak berasal dari latar belakang yang berbeda, wajar kalau dari kebiasaan bangun tidur hingga akan tidur ada perbedaan.

Waktu masih jauh dari umurku buat menikah, aku pernah dikasih tahu tetangga sebelah rumah kalau sudah menikah jangan ‘sweat the little things’. Maksudnya apa, ya? Hingga aku mencari tahu sendiri kalau sudah menikah, sesuatu yang terkesan trifle atau sepele bisa jadi bahan kekesalan yang terus bisa bikin jadi pertikaian kecil. 

Terlepas dari perbedaan apa pun, hubungan bakal awet ketika ada komunikasi dan kompromi. Saat sudah mengkomunikasikan apa yang dimau, kedua pihak juga kemudian harus memahami apa yang diinginkan pasangan dan bagaimana kita bisa mencari jalan tengah yang oke untuk keduanya. Kurasa kurang efektif kalau cuma berkomunikasi tanpa mengindahkan solusi yang baik buat kedua belah pihak. Jangan takut juga kalau ternyata masih ada kesalahpahaman hingga sifat dari pasangan kita yang belum kita pahami; marriage is a lifetime learning.

Selain komunikasi, kita harus bisa melihat dan menilai juga kualitas pasangan ketika fase PDKT maupun pacaran. Krusial sifatnya. Apakah dia suka mengeluarkan kata-kata kasar ketika marah? Suka main tangan?  Menghindari tanggung jawab? Manipulatif? Kalau ada tanda-tanda bendera merah, tinggalkan. Run, don’t walk. Seumur hidup terlalu lama buat menghabiskan waktu dengan orang yang salah. 

(´。• ◡ •。`) ♡

Tentang Komitmen, Hubungan, dan Pernikahan

April 10, 2023

Beberapa waktu yang lalu aku menghadiri pernikahan temanku. Apa mau dikata, umur segini memang sudah saatnya aku mendapati berita bahagia seperti lamaran, pernikahan, lahiran, hingga melihat unggahan bangganya teman-temanku yang sudah menjadi ayah atau ibu mengenai perkembangan anaknya.

Ketika mendapat kabar seperti itu—terutama pernikahan—mereka pasti lagi bahagia banget akhirnya bisa hidup berdampingan dengan orang pilihan mereka. Aku masih ingat betul rasanya, terutama ketika sedang proses mempersiapkan ini itu buat pernikahan. Gak jarang kadang aku iseng bilang ke suamiku, “Resepsi lagi, yuk,” yang jawabannya diikuti dengan gelengan kepala sambil bercanda, “Gak ah, pusing.”

Tak terasa kini aku pun hampir menjalani satu tahun pernikahan. Perasaan sudah banyak yang aku lewati, tapi tetap banyak yang masih kupelajari. Aku bahkan tadinya ‘orang itu’ yang setiap melihat orang pacaran maupun menikah berpikir, “Kok bisa ya mereka gak takut dengan komitmen?” Acap kali aku memikirkannya juga dengan rasa takut.

Belum lagi sekarang banyak konten di media sosial yang menceritakan tentang kegagalan sejoli untuk menjalin kasih, hingga konten fear mongering kalau pernikahan itu momok menyeramkan. Seperti, “Bayangkan, seumur hidup kamu bakalan bareng orang yang ke depannya bisa saja berubah sementara kamu gak bisa semerta-merta minta memutuskan hubungan karena kamu sudah mengikrarkan janji suci.” Akhirnya, gak sedikit pula yang berakhir gak percaya kalau ikatan cinta antara dua orang itu hal yang mungkin.

Aku bukan pakar hubungan. Aku menulis ini pun cuma berdasarkan pengalaman, perasaan, dan intuisiku saja. Ambil yang baik dan buang yang buruknya, ya.

Seserahan pernikahan

Kurasa, setidaknya seseorang pasti pernah berpikir kalau komitmen adalah sesuatu yang sulit dijalani. Pemikiran seperti ini bisa juga didasari juga dengan pengalaman masa lalu. Kalau seseorang pernah mengalami kesulitan di hubungan sebelumnya, bakal ada kecenderungan salah satu pihak (atau bahkan keduanya) membawa trauma tersebut di hubungan barunya. Tidak percaya dengan kegiatan yang pasangannya lakukan, misalnya. Biasanya trauma kayak gini muncul karena pasangannya di masa lalu pernah bertindak tidak setia/jujur, atau bisa juga disebabkan salah satu pihak merasa insecure mengenai dirinya sendiri. Hal ini kemudian berujung salah satu pihak cenderung memproyeksikan rasa tidak nyaman ini di hubungan barunya. 

Awalnya, kukira memproyeksikan ketakutan ke pasangan adalah sesuatu yang wajar hingga aku belajar bahwa sebenarnya itu bukanlah urusan pasangan kita. Sebelum memulai hubungan baru, akan sangat baik kalau kita ‘menyelesaikan apa-apa yang tidak beres di hubungan sebelumnya’. Aku sendiri pernah menjadi orang yang sangat memproyeksikan ketakutanku ke pasangan hingga aku menjadi pasangan yang posesif gila-gilaan dan membuat hubunganku saat itu jadi sangat gak sehat. 

Menjalin hubungan hampir empat tahun yang diakhiri dengan putus menjadi momen titik balik buatku. Aku mempelajari kesalahanku di hubungan sebelumnya yang kemudian kujanjikan pada diriku sendiri untuk gak melakukan itu di hubunganku berikutnya. Bahkan, ada saat aku benar-benar gak mau menjalin hubungan karena aku takut bakalan putus lagi dan aku cuma ingin menjalani hubungan yang berakhir serius. Waktu itu kupikir, “Sudah bukan umurku pacaran cuma sekadar buat main-main.” Saking skeptisnya tentang hubungan dan komitmen, kutanya temanku yang saat itu punya pacar dan jawabannya, “Ya, kita coba dulu aja. Kalau gak dicoba, gak akan tahu kan, ke depannya bakal gimana?”

Singkat cerita, kemudian aku merasakan the crazy butterflies in my stomach lagi ketika pertama kali aku bertemu orang yang jadi suamiku sekarang. Aku mulai memahami lagi ungkapan ‘if we never try, we’ll never know’. Sesuai janjiku, aku mencoba memperbaiki diriku di hubungan baru ini supaya hubungan kami tetap sehat. Gak sampai setahun kami kenal satu sama lain, kami berencana untuk beralih ke jenjang yang lebih serius. It sure does take effort to build a healthy relationship, menurutku.

Punya pasangan yang pikirannya lebih dewasa dan berusaha untuk mengkomunikasikan apapun adalah sesuatu yang baru buatku. Dengan adanya komunikasi seperti ini, kukira aku sudah mengetahui pasanganku luar dalam. Nyatanya, setelah menikah selalu saja ada perbedaan ketika sudah seatap.

Perbedaan seperti ini ternyata gak cuma dialami oleh aku yang fase perkenalan menuju pernikahannya tergolong cepat. Beberapa temanku yang sudah pacaran lebih dari tiga tahun berujung menikah pun merasakan hal yang sama. Hal seperti ini yang biasanya menyulut pertengkaran kecil antara suami dan istri, dan biasanya jadi konten fear mongering di media sosial seperti yang tadi aku sebutkan.

Padahal wajar menurutku kalau ada perbedaan seperti itu. Toh, tak peduli berapa lama sejoli bersama, akan jadi pengalaman baru buat mereka untuk hidup di bawah atap yang sama. Kedua pihak berasal dari latar belakang yang berbeda, wajar kalau dari kebiasaan bangun tidur hingga akan tidur ada perbedaan.

Waktu masih jauh dari umurku buat menikah, aku pernah dikasih tahu tetangga sebelah rumah kalau sudah menikah jangan ‘sweat the little things’. Maksudnya apa, ya? Hingga aku mencari tahu sendiri kalau sudah menikah, sesuatu yang terkesan trifle atau sepele bisa jadi bahan kekesalan yang terus bisa bikin jadi pertikaian kecil. 

Terlepas dari perbedaan apa pun, hubungan bakal awet ketika ada komunikasi dan kompromi. Saat sudah mengkomunikasikan apa yang dimau, kedua pihak juga kemudian harus memahami apa yang diinginkan pasangan dan bagaimana kita bisa mencari jalan tengah yang oke untuk keduanya. Kurasa kurang efektif kalau cuma berkomunikasi tanpa mengindahkan solusi yang baik buat kedua belah pihak. Jangan takut juga kalau ternyata masih ada kesalahpahaman hingga sifat dari pasangan kita yang belum kita pahami; marriage is a lifetime learning.

Selain komunikasi, kita harus bisa melihat dan menilai juga kualitas pasangan ketika fase PDKT maupun pacaran. Krusial sifatnya. Apakah dia suka mengeluarkan kata-kata kasar ketika marah? Suka main tangan?  Menghindari tanggung jawab? Manipulatif? Kalau ada tanda-tanda bendera merah, tinggalkan. Run, don’t walk. Seumur hidup terlalu lama buat menghabiskan waktu dengan orang yang salah. 

(´。• ◡ •。`) ♡

Senja di Tall Wolu

My lecturer once said,

Be careful if you used to break a writer's heart once:

you're going to linger in their piece forever.

Linger

Senja di Tall Wolu

My lecturer once said,

Be careful if you used to break a writer's heart once:

you're going to linger in their piece forever.

One Chocolate Eater