Menjadi pengguna media sosial yang cukup aktif bikin aku melek terhadap isu yang lagi gemar diangkat warganet. Walau gak semua isu aku ikuti—karena beberapa terlalu pelik dan menimbulkan adu kicau. Lebih baik jauh-jauh dari hal seperti itu, cuma bikin capek hati. Membatasi diri atau gak main medsos mungkin lebih bagus, justru—pasti ada satu dua isu yang diiringi budaya pengenyahan.

Hematku, budaya pengenyahan ini adalah salah satu cara modern untuk mengucilkan seseorang (biasanya figur publik) karena perilaku atau pendapatnya yang dianggap fatal dan kontroversial bagi khalayak. Gak jarang, budaya ini bisa dengan cepat melenyapkan karier seseorang.

Lantas, apakah budaya pengenyahan ini sesuatu yang positif atau negatif?

Aku seringnya menganggap kalau sesuatu itu relatif, tidak eksak, abu-abu, tidak bisa digeneralisir. Jadi ya, kurasa memang diperlukan ketika pelaku melakukan sesuatu yang tidak lagi bisa ditoleransi. Gerakan #MeToo yang lagi-lagi mencuat karena pelecehan seksual yang dilakukan seorang artis asal Tiongkok, misalnya (bukannya aku tak ingin menyebut nama-nama pelaku di sini. Aku cuma mau main aman). Dampak yang mengekor pun dahsyat, dia dihantam habis-habisan; ia dienyahkan dari platform medsos Tiongkok, situs aliran musik, dan kurasa nihil usahanya kalau dia mau muncul lagi ke dunia hiburan.

Walau begitu, terkadang ada mob mentality terhadap budaya ini, alias mereka dengan mental ikut-ikutan tanpa mengetahui apa duduk perkara utamanya. Namun begitu, di sisi lain mob mentality juga mungkin bisa saja turut menyukseskan pengenyahan yang seharusnya jadi ganjaran pelaku. Tetap saja, akan lebih baik kalau melakukan aksi pengenyahan ini dengan didasari dan atas kemauan sendiri, bukan karena FOMO. “Harus punya pendirian,” demikian ibuku bilang kala ia kesal mendengar kata “terserah” sebagai jawaban. Kurasa bisa diterapkan juga dalam situasi seperti ini.



Yang mau kubahas di kiriman kali ini adalah bagaimana senewennya aku karena tampaknya di tempat kita tinggal ini budaya pengenyahan tidak tereksekusi dengan terlalu baik (tentu saja kalau dilakukan jangan sampai salah sasaran. Makanya barusan aku bilang harus punya pendirian dan harus bisa lihat dari berbagai kacamata. Harus bisa jadi orang bijak dalam mengambil tindakan).

Sebutlah si penyanyi dangdut yang kemarin baru bebas dari penjara. Media malah mengglorifikasi kebebasannya setelah kasus pedofilia yang dilakukannya, entah apa maksudnya. Atau, seseorang yang kemarin tak dipenjara karena disebut-sebut ‘sopan dan berhak bahagia’, kini mulai terlihat aktif kembali di medsosnya karena mereka yang masih dalam lingkar pertemanan yang sama terlihat memberikan dukungan terhadap orang tersebut.

Pertanyaanku: bagaimana bisa kita ingin tak melihat para pelaku kesalahan ini tak muncul lagi di layar jika yang ‘membuat pelaku kembali’ masih mereka-mereka juga yang punya kekuatan atas eksposur yang hebat?

Akan baik jadinya kalau kita punya stance atau cara kita mengambil sikap terhadap orang-orang ini. Ketika mereka berbuat sesuatu, kita mesti lihat siapa korbannya dan efek apa yang ditimbulkan atas perilaku mereka; seperti yang terjadi pada aktor asal Korea Selatan kemarin yang membuat gaduh atas isu gaslighting dan aborsi terhadap pacarnya (meski pada akhirnya si aktorlah korbannya). Walau kecewa, orang-orang berbondong memberikan dukungan pada si pacar aktor karena saat itu khalayak cuma tahu kalau si pacar adalah korban. Demi menjunjung integritas, beberapa merek yang bekerja sama dengan si aktor pun (untuk sementara waktu) menghapus kiriman dengan wajah si aktor yang terpampang nyata. Tindakan seperti inilah yang menjadi hulu dari pengenyahan.

Sementara pada kasus yang ada di negara kita (terkesan hiperbolis, tapi begitu adanya), jangankan mengambil tindakan seperti yang kusebutkan di atas. Gak jarang, ada beberapa merek yang malah mengambil kesempatan ini untuk bekerja sama dengan si pelaku karena sedang ramai diperbincangkan demi meningkatkan eksposur. Sebuah strategi yang gak berpendirian, gak kritis, gak memikirkan value-nya, dan bikin aku gak habis pikir.

Untungnya, beberapa orang sudah paham betul dan bisa mengambil sikap apa yang harus dilakukan jika ada kasus seperti ini. Beberapa sudah memahami pentingnya punya sudut pandang dan mengambil sisi yang mereka rasa benar. Terkadang ada juga yang didasari alasan terlalu penat melihat kelakuan si pelaku sehingga mereka telanjur ilfeel dan dengan begitu saja tak lagi mengindahkannya. Aku pun mencoba mengambil jarak pada si pelaku dan siapa-siapa saja yang malah memberikan dukungan pada si empunya salah. Sudah saatnya kukira kita bisa mengambil sikap dan memberikan ganjaran (setidaknya dalam spektrum sosial, tapi tetap bedakan dengan perundungan, ya. Mengenyahkan tidak sama dengan merundung) yang tepat.

Penafian: Perlu diingat kiriman ini cuma berdasar opiniku saja, ya. Sangat boleh kalau teman-teman yang baca punya pendapat berbeda. Gambar juga cuma pemanis, tapi kurasa cukup cocok dengan tema yang kuangkat kali ini. Si pelaku dienyahkan, sendiri, jauh dari keramaian, dan harus memasuki pintu keberangkatan dari jagat yang semula ia tinggali.


(´。• •。`) ♡

Budaya Pengenyahan

January 16, 2022

Menjadi pengguna media sosial yang cukup aktif bikin aku melek terhadap isu yang lagi gemar diangkat warganet. Walau gak semua isu aku ikuti—karena beberapa terlalu pelik dan menimbulkan adu kicau. Lebih baik jauh-jauh dari hal seperti itu, cuma bikin capek hati. Membatasi diri atau gak main medsos mungkin lebih bagus, justru—pasti ada satu dua isu yang diiringi budaya pengenyahan.

Hematku, budaya pengenyahan ini adalah salah satu cara modern untuk mengucilkan seseorang (biasanya figur publik) karena perilaku atau pendapatnya yang dianggap fatal dan kontroversial bagi khalayak. Gak jarang, budaya ini bisa dengan cepat melenyapkan karier seseorang.

Lantas, apakah budaya pengenyahan ini sesuatu yang positif atau negatif?

Aku seringnya menganggap kalau sesuatu itu relatif, tidak eksak, abu-abu, tidak bisa digeneralisir. Jadi ya, kurasa memang diperlukan ketika pelaku melakukan sesuatu yang tidak lagi bisa ditoleransi. Gerakan #MeToo yang lagi-lagi mencuat karena pelecehan seksual yang dilakukan seorang artis asal Tiongkok, misalnya (bukannya aku tak ingin menyebut nama-nama pelaku di sini. Aku cuma mau main aman). Dampak yang mengekor pun dahsyat, dia dihantam habis-habisan; ia dienyahkan dari platform medsos Tiongkok, situs aliran musik, dan kurasa nihil usahanya kalau dia mau muncul lagi ke dunia hiburan.

Walau begitu, terkadang ada mob mentality terhadap budaya ini, alias mereka dengan mental ikut-ikutan tanpa mengetahui apa duduk perkara utamanya. Namun begitu, di sisi lain mob mentality juga mungkin bisa saja turut menyukseskan pengenyahan yang seharusnya jadi ganjaran pelaku. Tetap saja, akan lebih baik kalau melakukan aksi pengenyahan ini dengan didasari dan atas kemauan sendiri, bukan karena FOMO. “Harus punya pendirian,” demikian ibuku bilang kala ia kesal mendengar kata “terserah” sebagai jawaban. Kurasa bisa diterapkan juga dalam situasi seperti ini.



Yang mau kubahas di kiriman kali ini adalah bagaimana senewennya aku karena tampaknya di tempat kita tinggal ini budaya pengenyahan tidak tereksekusi dengan terlalu baik (tentu saja kalau dilakukan jangan sampai salah sasaran. Makanya barusan aku bilang harus punya pendirian dan harus bisa lihat dari berbagai kacamata. Harus bisa jadi orang bijak dalam mengambil tindakan).

Sebutlah si penyanyi dangdut yang kemarin baru bebas dari penjara. Media malah mengglorifikasi kebebasannya setelah kasus pedofilia yang dilakukannya, entah apa maksudnya. Atau, seseorang yang kemarin tak dipenjara karena disebut-sebut ‘sopan dan berhak bahagia’, kini mulai terlihat aktif kembali di medsosnya karena mereka yang masih dalam lingkar pertemanan yang sama terlihat memberikan dukungan terhadap orang tersebut.

Pertanyaanku: bagaimana bisa kita ingin tak melihat para pelaku kesalahan ini tak muncul lagi di layar jika yang ‘membuat pelaku kembali’ masih mereka-mereka juga yang punya kekuatan atas eksposur yang hebat?

Akan baik jadinya kalau kita punya stance atau cara kita mengambil sikap terhadap orang-orang ini. Ketika mereka berbuat sesuatu, kita mesti lihat siapa korbannya dan efek apa yang ditimbulkan atas perilaku mereka; seperti yang terjadi pada aktor asal Korea Selatan kemarin yang membuat gaduh atas isu gaslighting dan aborsi terhadap pacarnya (meski pada akhirnya si aktorlah korbannya). Walau kecewa, orang-orang berbondong memberikan dukungan pada si pacar aktor karena saat itu khalayak cuma tahu kalau si pacar adalah korban. Demi menjunjung integritas, beberapa merek yang bekerja sama dengan si aktor pun (untuk sementara waktu) menghapus kiriman dengan wajah si aktor yang terpampang nyata. Tindakan seperti inilah yang menjadi hulu dari pengenyahan.

Sementara pada kasus yang ada di negara kita (terkesan hiperbolis, tapi begitu adanya), jangankan mengambil tindakan seperti yang kusebutkan di atas. Gak jarang, ada beberapa merek yang malah mengambil kesempatan ini untuk bekerja sama dengan si pelaku karena sedang ramai diperbincangkan demi meningkatkan eksposur. Sebuah strategi yang gak berpendirian, gak kritis, gak memikirkan value-nya, dan bikin aku gak habis pikir.

Untungnya, beberapa orang sudah paham betul dan bisa mengambil sikap apa yang harus dilakukan jika ada kasus seperti ini. Beberapa sudah memahami pentingnya punya sudut pandang dan mengambil sisi yang mereka rasa benar. Terkadang ada juga yang didasari alasan terlalu penat melihat kelakuan si pelaku sehingga mereka telanjur ilfeel dan dengan begitu saja tak lagi mengindahkannya. Aku pun mencoba mengambil jarak pada si pelaku dan siapa-siapa saja yang malah memberikan dukungan pada si empunya salah. Sudah saatnya kukira kita bisa mengambil sikap dan memberikan ganjaran (setidaknya dalam spektrum sosial, tapi tetap bedakan dengan perundungan, ya. Mengenyahkan tidak sama dengan merundung) yang tepat.

Penafian: Perlu diingat kiriman ini cuma berdasar opiniku saja, ya. Sangat boleh kalau teman-teman yang baca punya pendapat berbeda. Gambar juga cuma pemanis, tapi kurasa cukup cocok dengan tema yang kuangkat kali ini. Si pelaku dienyahkan, sendiri, jauh dari keramaian, dan harus memasuki pintu keberangkatan dari jagat yang semula ia tinggali.


(´。• •。`) ♡
Mengingat kembali kenangan yang pernah terjadi di tahun ini kurasa akan menyenangkan jika dituliskan di kiriman ini. Sejujurnya, aku bukan tipe orang yang punya ingatan jangka panjang dan rajin mengabadikan momen, baik kemudian kuunggah di Instagram Story atau kubiarkan mengendap di memori ponsel. Jadi ya, kiriman kali ini hanya berdasarkan beberapa momen yang kuingat saja karena masih duduk rapi di ponselku (ini menjelaskan juga bulan yang jadi sub-judul di sini yang lompat-lompat). Hitung-hitung mungkin bisa jadi kapsul waktu digital yang bisa kubaca di tahun-tahun berikutnya.

Januari
Aku tak ingat persis kapan aku memulai lompat tali, tapi kuingat betul foto ini kuambil saat aku mau mencoba latihan di tempat yang seperti teras luas di halaman belakang Gedung Sate. Kala itu aku sampai di sana jam 7 pagi dengan cuaca yang bisa dibilang cukup ideal buatku. 

Di Bandung, biasanya jam 7 pagi matahari sudah muncul dan orang turun ke jalanan besar untuk bersepeda, jalan pagi, atau lari keliling kota. Sinar matahari yang waktu itu tak menampakkan batang hidungnya ternyata tak mengurungkan gairah orang-orang untuk tetap berolahraga. Bagaimana tidak juga sih, karena cuaca seperti ini malah bikin betah karena gak akan bikin kepanasan. 


Setelah matahari mulai tinggi, aku memutuskan untuk ngopi sebentar di Armor Kopi, daerah Dago Atas. Jangan tanya sebanyak apa pesepeda yang turun ke jalanan, terlebih saat akhir pekan. Jalan akses ke kafe yang ingin kutuju ini tak terlalu besar dan jalanan cukup sulit ditembus dengan mobil karena banyaknya pesepeda. Tak heran, pada akhirnya di kafe ini pun tak sedikit pesepeda yang ingin sejenak meluruskan kaki.


Maret
Foto ini kuambil di Garasi 81, Jalan Bali. Saat itu aku sedang menunggu sahabatku yang belum datang, jadi aku pesan duluan. Seingatku, menu yang ada di gambar ini adalah Kopi Baileys dan Salmon Mentai. Kalau harus kuulas dari segi tempat maupun menu, nyaman menurut preferensiku. Lokasinya strategis, ada lahan untuk parkir yang cukup luas (plus, bapak tukang parkir yang membantu banget!), di mana menunya pun enak plus gak terlalu mahal; masih standar kafe Bandung.


Bicara kafe, di bulan Maret ini juga ada kafe yang baru kukunjungi. Kafe yang satu ini memang gak berlokasi di Bandung karena baru aku datangi setelah pulang dari kampung halamanku di Magelang. Tjipto Coffee & Roastery ini ada di kawasan Kabupaten Semarang—sebelum masuk Ambarawa kalau dari arah Magelang.

Dari cerita yang disampaikan padaku, sebenarnya yang terkenal di sini adalah Resto Kopi Eva. Tjipto ini bisa ditemukan di belakang Resto Kopi Eva, sementara Kopi Eva-nya sendiri terletak persis dan lebih terlihat dari pinggir jalan. Mungkin satu manajemen, jadi kalau teman-teman mau makan baik di Tjipto atau Eva, tetap bisa memesan menu dari keduanya.


Menu yang waktu itu menarik perhatianku adalah tempe mendoan dan salted caramel latte-nya. Tempe mendoannya gurih dan renyah, cocok dengan seleraku. Kemudian, salted caramel latte-nya benar-benar definisi sempurna antara keseimbangan asin dan manis bagiku. Dari beberapa kafe di Bandung yang pernah kudatangi, aku belum pernah menemukan menu kopi seperti ini (atau mungkin akunya saja yang belum banyak main ke kafe di sini). 

Terlepas dari menunya yang enak dan parkirannya yang cukup luas untuk banyak pengunjung, satu yang kusayangkan adalah penyajian makanannya datang cukup lama.


Mei
Foto ini kuambil saat pertemuan kedua dengan orang yang jadi calonku sekarang. Foto ini juga adalah foto pertamanya yang kuambil. Kami makan di sebuah rumah steik yang terletak di pusat Kota Bandung. Aku ingat sekali suasana yang ada saat kuambil foto ini masih suasana Lebaran.

Siapa sangka, pertemuan kami yang awalnya tanpa niatan apapun dua hari sebelumnya jadi batu loncatan untuk langkah-langkah kami berikutnya.


Juni
Gedung Rumah Sakit Pendidikan Unpad, Jalan Eyckman, saat aku menerima dosis pertama Sinovac.

Waktu itu aku datang pagi benar, di mana panitianya pun belum selesai menyiapkan segala sesuatunya. Singkat cerita, walau banyak penerima vaksin yang hadir hari itu, semuanya berjalan dengan lancar dan tertib. Gak tahu juga apa mungkin karena ibu petugasnya dari Polda Jabar, jadi memang tegas banget ke semua orang. Beliau gak ragu untuk segera menunjuk orang yang belum masuk barisan dan melakukan rotasi penerima vaksin ke pos berikutnya dengan cepat. Salut banget.


Kebanyakan orang saat menerima Sinova cenderung langsung merasa pegal di bagian yang disuntik. Beda halnya dengan aku yang awalnya gak kenapa-kenapa malah langsung demam ±4 jam setelah menerima vaksin. Untunglah, satu tablet parasetamol langsung menurunkan panas badanku.

September
25 tahun aku hidup di Bandung, baru kali ini aku menjajaki Orchid Forest Lembang yang acap jadi destinasi andalan wisatawan. Awalnya, yang mau kukunjungi adalah Jungle Milk yang lokasinya gak jauh dari Orchid Forest ini. Hanya saja, datang ke Jungle Milk cuma bisa berdasar reservasi dan aku reservasi terlalu mepet dari tanggal kedatanganku. Mengingat Jungle Milk ini adalah kawasan baru, pastinya sudah fully booked.

Kali itu aku datang dengan rombongan empat orang, di mana satu orang membayar tiket Rp 50.000. Uang yang ditiketkan ini bisa ditukar dengan makanan/minuman. Pun kalau menu yang dipesan nominalnya lebih besar daripada jumlah tiket, kita bisa tinggal membayar sisanya.

Waktu itu aku mengambil konsep piknik. Jadi aku bisa duduk-duduk di taman dengan terpal yang sudah disediakan sambil memandangi kebun pohon pinus yang terbentang di hadapanku.


Masih di bulan yang sama tapi tanggal yang berbeda, aku mencoba salah satu makanan yang sedari dulu ingin aku coba. Kalau teman-teman masih ingat kirimanku yang ini, awalnya aku memang bukan penikmat jahe. Namun karena aku sudah terbiasa dengan karakter si jahe ini, aku jadi berani mencoba suguhan yang biasa dinikmati ketika dinginnya malam mulai menusuk; wedang ronde.


Malam itu memang dingin karena hujan baru berhenti. Aku dan pacarku mendatangi Jalan Cibadak, di mana Wedang Ronde Jahe Alkateri yang melegenda itu berlokasi. Jalanan ini jadi tempat yang didatangi banyak warga Bandung yang mau jajan-jajan maupun berwisata kuliner di malam hari. Hanya cukup bersabar saja karena trotoarnya dipenuhi banyak orang dan bikin jalan cukup susah.

Setelah mencari ke sana ke mari dengan bergantung pada Google Maps, akhirnya kami temukan juga stan wedang ronde. Setelah memesan dan habis, kami baru sadar yang sudah kami santap ini bukan Wedang Ronde Jahe Alkateri yang kami cari-cari. Walau begitu, rasanya gak mengecewakan.

Oktober
Kalau teman-teman sering main ke Jalan Braga, pasti gak asing dengan nama gedung di foto yang kuambil ini.

Saat itu malam Minggu dan live band-nya menarik perhatianku. Benar saja, malam itu jadi malam yang menyenangkan karena mereka menyajikan lagu-lagu bagus; tak lepas juga dari performa band-nya yang ciamik untuk dinikmati.


November
Bulan ini jadi bulan puncaknya capek. Aku harus mengunjungi keluargaku yang ada di luar Bandung untuk mendiskusikan hal terkait lamaran dan pernikahan nanti. Di bulan ini aku mengunjungi empat kota; Semarang-Demak-Magelang dalam satu perjalanan, dan Bogor.

Singkat cerita karena aku menginap satu malam di kota pemilik Lawang Sewu ini, aku berkesempatan mencoba makan Soto Bangkong yang konon terkenal di sana. Pada dasarnya, ini seperti soto kudus karena disajikan dengan berbagai macam sate manis menurutku tapi dengan mangkok yang lebih besar.


Keesokan harinya saat aku dalam perjalanan ke Magelang, gak lupa aku mampir lagi ke Tjipto untuk memesan salted caramel latte kesukaanku itu.

Desember
Selain Desember ini bagaikan puncak dari tahun 2021 karena aku sudah menyelesaikan lamaran, aku juga berkesempatan untuk menghabiskan malam tahun baru dengan keluargaku, juga si mas doi. Kami membuat barbeku kecil-kecilan di halaman belakang rumah kemudian tetap terjaga hingga pergantian tahun dan menikmati hiruk pikuk suara kembang api.


Selamat tahun baru, teman-teman semua! Semoga kita selalu sehat, bahagia, dan mendapatkan hari-hari yang bagus di Tahun Baru 2022! 

(´。• •。`) ♡

Kilas Balik 2021

January 01, 2022

Mengingat kembali kenangan yang pernah terjadi di tahun ini kurasa akan menyenangkan jika dituliskan di kiriman ini. Sejujurnya, aku bukan tipe orang yang punya ingatan jangka panjang dan rajin mengabadikan momen, baik kemudian kuunggah di Instagram Story atau kubiarkan mengendap di memori ponsel. Jadi ya, kiriman kali ini hanya berdasarkan beberapa momen yang kuingat saja karena masih duduk rapi di ponselku (ini menjelaskan juga bulan yang jadi sub-judul di sini yang lompat-lompat). Hitung-hitung mungkin bisa jadi kapsul waktu digital yang bisa kubaca di tahun-tahun berikutnya.

Januari
Aku tak ingat persis kapan aku memulai lompat tali, tapi kuingat betul foto ini kuambil saat aku mau mencoba latihan di tempat yang seperti teras luas di halaman belakang Gedung Sate. Kala itu aku sampai di sana jam 7 pagi dengan cuaca yang bisa dibilang cukup ideal buatku. 

Di Bandung, biasanya jam 7 pagi matahari sudah muncul dan orang turun ke jalanan besar untuk bersepeda, jalan pagi, atau lari keliling kota. Sinar matahari yang waktu itu tak menampakkan batang hidungnya ternyata tak mengurungkan gairah orang-orang untuk tetap berolahraga. Bagaimana tidak juga sih, karena cuaca seperti ini malah bikin betah karena gak akan bikin kepanasan. 


Setelah matahari mulai tinggi, aku memutuskan untuk ngopi sebentar di Armor Kopi, daerah Dago Atas. Jangan tanya sebanyak apa pesepeda yang turun ke jalanan, terlebih saat akhir pekan. Jalan akses ke kafe yang ingin kutuju ini tak terlalu besar dan jalanan cukup sulit ditembus dengan mobil karena banyaknya pesepeda. Tak heran, pada akhirnya di kafe ini pun tak sedikit pesepeda yang ingin sejenak meluruskan kaki.


Maret
Foto ini kuambil di Garasi 81, Jalan Bali. Saat itu aku sedang menunggu sahabatku yang belum datang, jadi aku pesan duluan. Seingatku, menu yang ada di gambar ini adalah Kopi Baileys dan Salmon Mentai. Kalau harus kuulas dari segi tempat maupun menu, nyaman menurut preferensiku. Lokasinya strategis, ada lahan untuk parkir yang cukup luas (plus, bapak tukang parkir yang membantu banget!), di mana menunya pun enak plus gak terlalu mahal; masih standar kafe Bandung.


Bicara kafe, di bulan Maret ini juga ada kafe yang baru kukunjungi. Kafe yang satu ini memang gak berlokasi di Bandung karena baru aku datangi setelah pulang dari kampung halamanku di Magelang. Tjipto Coffee & Roastery ini ada di kawasan Kabupaten Semarang—sebelum masuk Ambarawa kalau dari arah Magelang.

Dari cerita yang disampaikan padaku, sebenarnya yang terkenal di sini adalah Resto Kopi Eva. Tjipto ini bisa ditemukan di belakang Resto Kopi Eva, sementara Kopi Eva-nya sendiri terletak persis dan lebih terlihat dari pinggir jalan. Mungkin satu manajemen, jadi kalau teman-teman mau makan baik di Tjipto atau Eva, tetap bisa memesan menu dari keduanya.


Menu yang waktu itu menarik perhatianku adalah tempe mendoan dan salted caramel latte-nya. Tempe mendoannya gurih dan renyah, cocok dengan seleraku. Kemudian, salted caramel latte-nya benar-benar definisi sempurna antara keseimbangan asin dan manis bagiku. Dari beberapa kafe di Bandung yang pernah kudatangi, aku belum pernah menemukan menu kopi seperti ini (atau mungkin akunya saja yang belum banyak main ke kafe di sini). 

Terlepas dari menunya yang enak dan parkirannya yang cukup luas untuk banyak pengunjung, satu yang kusayangkan adalah penyajian makanannya datang cukup lama.


Mei
Foto ini kuambil saat pertemuan kedua dengan orang yang jadi calonku sekarang. Foto ini juga adalah foto pertamanya yang kuambil. Kami makan di sebuah rumah steik yang terletak di pusat Kota Bandung. Aku ingat sekali suasana yang ada saat kuambil foto ini masih suasana Lebaran.

Siapa sangka, pertemuan kami yang awalnya tanpa niatan apapun dua hari sebelumnya jadi batu loncatan untuk langkah-langkah kami berikutnya.


Juni
Gedung Rumah Sakit Pendidikan Unpad, Jalan Eyckman, saat aku menerima dosis pertama Sinovac.

Waktu itu aku datang pagi benar, di mana panitianya pun belum selesai menyiapkan segala sesuatunya. Singkat cerita, walau banyak penerima vaksin yang hadir hari itu, semuanya berjalan dengan lancar dan tertib. Gak tahu juga apa mungkin karena ibu petugasnya dari Polda Jabar, jadi memang tegas banget ke semua orang. Beliau gak ragu untuk segera menunjuk orang yang belum masuk barisan dan melakukan rotasi penerima vaksin ke pos berikutnya dengan cepat. Salut banget.


Kebanyakan orang saat menerima Sinova cenderung langsung merasa pegal di bagian yang disuntik. Beda halnya dengan aku yang awalnya gak kenapa-kenapa malah langsung demam ±4 jam setelah menerima vaksin. Untunglah, satu tablet parasetamol langsung menurunkan panas badanku.

September
25 tahun aku hidup di Bandung, baru kali ini aku menjajaki Orchid Forest Lembang yang acap jadi destinasi andalan wisatawan. Awalnya, yang mau kukunjungi adalah Jungle Milk yang lokasinya gak jauh dari Orchid Forest ini. Hanya saja, datang ke Jungle Milk cuma bisa berdasar reservasi dan aku reservasi terlalu mepet dari tanggal kedatanganku. Mengingat Jungle Milk ini adalah kawasan baru, pastinya sudah fully booked.

Kali itu aku datang dengan rombongan empat orang, di mana satu orang membayar tiket Rp 50.000. Uang yang ditiketkan ini bisa ditukar dengan makanan/minuman. Pun kalau menu yang dipesan nominalnya lebih besar daripada jumlah tiket, kita bisa tinggal membayar sisanya.

Waktu itu aku mengambil konsep piknik. Jadi aku bisa duduk-duduk di taman dengan terpal yang sudah disediakan sambil memandangi kebun pohon pinus yang terbentang di hadapanku.


Masih di bulan yang sama tapi tanggal yang berbeda, aku mencoba salah satu makanan yang sedari dulu ingin aku coba. Kalau teman-teman masih ingat kirimanku yang ini, awalnya aku memang bukan penikmat jahe. Namun karena aku sudah terbiasa dengan karakter si jahe ini, aku jadi berani mencoba suguhan yang biasa dinikmati ketika dinginnya malam mulai menusuk; wedang ronde.


Malam itu memang dingin karena hujan baru berhenti. Aku dan pacarku mendatangi Jalan Cibadak, di mana Wedang Ronde Jahe Alkateri yang melegenda itu berlokasi. Jalanan ini jadi tempat yang didatangi banyak warga Bandung yang mau jajan-jajan maupun berwisata kuliner di malam hari. Hanya cukup bersabar saja karena trotoarnya dipenuhi banyak orang dan bikin jalan cukup susah.

Setelah mencari ke sana ke mari dengan bergantung pada Google Maps, akhirnya kami temukan juga stan wedang ronde. Setelah memesan dan habis, kami baru sadar yang sudah kami santap ini bukan Wedang Ronde Jahe Alkateri yang kami cari-cari. Walau begitu, rasanya gak mengecewakan.

Oktober
Kalau teman-teman sering main ke Jalan Braga, pasti gak asing dengan nama gedung di foto yang kuambil ini.

Saat itu malam Minggu dan live band-nya menarik perhatianku. Benar saja, malam itu jadi malam yang menyenangkan karena mereka menyajikan lagu-lagu bagus; tak lepas juga dari performa band-nya yang ciamik untuk dinikmati.


November
Bulan ini jadi bulan puncaknya capek. Aku harus mengunjungi keluargaku yang ada di luar Bandung untuk mendiskusikan hal terkait lamaran dan pernikahan nanti. Di bulan ini aku mengunjungi empat kota; Semarang-Demak-Magelang dalam satu perjalanan, dan Bogor.

Singkat cerita karena aku menginap satu malam di kota pemilik Lawang Sewu ini, aku berkesempatan mencoba makan Soto Bangkong yang konon terkenal di sana. Pada dasarnya, ini seperti soto kudus karena disajikan dengan berbagai macam sate manis menurutku tapi dengan mangkok yang lebih besar.


Keesokan harinya saat aku dalam perjalanan ke Magelang, gak lupa aku mampir lagi ke Tjipto untuk memesan salted caramel latte kesukaanku itu.

Desember
Selain Desember ini bagaikan puncak dari tahun 2021 karena aku sudah menyelesaikan lamaran, aku juga berkesempatan untuk menghabiskan malam tahun baru dengan keluargaku, juga si mas doi. Kami membuat barbeku kecil-kecilan di halaman belakang rumah kemudian tetap terjaga hingga pergantian tahun dan menikmati hiruk pikuk suara kembang api.


Selamat tahun baru, teman-teman semua! Semoga kita selalu sehat, bahagia, dan mendapatkan hari-hari yang bagus di Tahun Baru 2022! 

(´。• •。`) ♡

One Chocolate Eater